Januari 08, 2008

Berteman dengan Setan



Pasti di antara kita punya teman akrab, baik di sekolah, kampus, kantor atau lingkungan rumah. Teman terkadang (dan bahkan seringkali) mempengaruhi pola pikir kita, keputusan-keputusan kita, cara berkomunikasi kita, cara kita merespon kejadian sampai dengan mempengaruhi masa depan kita! Pameo umum mengatakan, kalau mau melihat masa depan seseorang, lihatlah dengan siapa dia bergaul.

Cara berkomunikasi seseorang yang bergaul dengan preman, mungkin kosa katanya lebih banyak menjurus pada ancaman-ancaman. Pola pikir seseorang yang bergaul dengan entrepreneur, tentu lebih mengarah pada cara melihat peluang bisnis. Tapi bagaimana dengan mereka yang banyak ’bergaul’ dengan setan?
Tentu maksud saya bukan dukun atau pelaku praktek klenik. Mereka yang bergaul dengan setan dalam konteks Al-Qur’an adalah mereka yang riya, tidak beriman pada Allah dan hari kemudian.

Dan orang-orang yang menginfakkan hartanya karena riya kepada orang lain, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Barangsiapa menjadikan setan sebagai temannya, maka (ketahuilah) dia adalah teman yang sangat jahat. (QS.An-Nisa:38)

Salah satu ciri teman setan adalah riya dalam menginfakkan hartanya. Para pelaku bisnis, artis, public figure, adalah orang-orang yang sangat rawan dihinggapi penyakit ini. Kehidupan yang dikelilingi oleh pers sedikit banyak bisa menjerumuskan mereka ke penyakit riya ini. Namun kita yang orang biasa-biasa ini pun tidak berarti bebas dari sifat riya dalam berinfak. Meski tidak ada wartawan yang mengejar kita, tapi ada orang lain yang kita harapkan apresiasinya. Dia bisa mertua, atasan, calon istri/suami, atau komunitas yang kita ikuti. Tujuan kita mungkin tidak selalu ingin disebut dermawan, tetapi bisa juga karena ingin diterima orang lain.

Syaithon adalah makhluk yang menjerumuskan. Berteman dengannya jelas hanya membawa masalah. Menjadi pribadi yang tidak haus pujian ketika berderma sama seperti menolak syaithon menjadi teman kita. Jika kita sudah terlalu dekat sama syaithon, maka pola pikir kita, cara kita berbicara, kata-kata yang keluar dari lisan kita, perbuatan-perbuatan kita, pilihan-pilihan kita, sangat mungkin dipengaruhi oleh syaithon la’natullah. Jadi tidak usah bingung atau heran ketika melihat diri kita sendiri, yang kalau ngobrol dengan orang lain selalu nyelekit, yang selalu berpikiran negatif, yang memilih sesuatu berdasarkan nafsu dan yang tidak bisa menjaga pergaulan dengan lawan jenis. Sangat besar karakter seperti itu berawal dari penyakit riya yang ada di hati kita!
Tolaklah syaithon menjadi teman kita dengan menjadi pribadi yang ikhlas. Mendekatkan diri terus menerus pada Allah, sama dengan menjaga jarak dengan syaithon. Biarkan syaithon sendirian di neraka, tidak perlu ngajak-ngajak kita. 

Muhammad Zulkifli

Keajaiban Tahajud dan Sedekah

Di tahun 1970an, seorang anak muda dari gunung Kidul baru saja lulus STM. Dia merantau ke Jakarta dan mulai mencari pekerjaan. Namun apa daya, pekerjaan tak juga dia dapat. Dia lalu bangun malam, mandi dan sholat tahajud serta berdoa pada Allah SWT, kalau dia dapat pekerjaan, di bulan pertama dia akan menyedekahkan seluruh gajinya buat fakir miskin. Singkat cerita dia pun mendapat pekerjaan sebagai satpam di kawasan Pulo Gadung. Di bulan pertama ia mendapat gaji (waktu itu 250 ribu rupiah), ia menepati janjinya dengan berkeliling untuk bersedekah. Gajinya pun habis dan dia tidak punya pegangan uang sama sekali. Dia meminta izin sama pemilik perusahaan, bahwa dia ingin menginap satu malam di kantor. Bos nya pun terkejut karena selama ini tidak ada yang berani nginap di kantor karena kawasan Pulo Gadung di tahun 70an adalah kawasan yang rawan akan kejahatan. Karena bersimpati, bos nya pun memberikan uang 150 ribu buat anak muda ini. Di tengah malam pintu kantor diketuk orang. Ternyata ada seseorang yang mobilnya mogok dan butuh bantuannya buat menghidupkan. Karena anak ini lulusan STM, maka dengan mudah ia pun menghidupkan mobil tersebut yang ternyata kabel businya putus.. Pemilik mobil pun memberikan uang terima kasih kepadanya sebesar Rp.100,000.

Berbulan-bulan ia bekerja di Pulo Gadung, sampai suatu saat bos nya mengatakan pada anak muda ini bahwa perusahaan bangkrut. Ia berniat menjualnya namun tidak ada yang berminat. Harga yang ditawarkan adalah 15 miliar rupiah. Anak muda ini mengajak bos nya buat sama-sama bangun malam, mandi dan kemudian tahajud. Dalam doanya, anak muda ini meminta agar Allah bersedia menolong atasannya.

Beberapa minggu kemudian, dalam Rapat Umum Pemegang Saham, bos nya keluar dari ruangan dan menghampiri anak muda ini sambil tersenyum. Ia mengatakan bahwa perusahaan telah berhasil ia jual dengan nilai 16,2 miliar! Sebagai tanda terima kasih, ia menghadiahkan 1,2 miliar buat dirinya. Anak muda ini mengambil 900 juta untuk membangun beberapa rumah di kampungnya di Gunung Kidul dan memberangkatkan sanak familinya ke tanah suci. Sisanya yang 300 juta ia bangun usaha. Kini, anak muda itu adalah pemilik tiga perusahaan besar di kawasan Pulo Gadung!

Muhammad Zulkifli

Belajar Butuh pada Allah

Allah SWT Maha Kaya. Pernyataan ini tentu sudah tidak perlu diragukan lagi bagi orang yang mengaku dirinya beriman. Kekayaan Allah tidak saja sebatas Pemilik Mutlak atas apa yang kita miliki, tetangga miliki, pejabat miliki,dan pengusaha miliki saja. Perbendaharaan Allah juga tidak hanya sampai di tingkat kelurahan, tingkat provinsi maupun tingkat negara. Bahkan apa yang diakui sebagai aset-aset milik Istana Negara seperti gedung, perabotan, uang kas dan lainnya secara hakekat ada dalam genggaman kekuasaan Allah. Dia bisa mencabut semua itu dari pemilik sementaranya dan mengalihkan ke pemiliknya yang baru. Sudah berkali-kali ganti presiden, dan Istana Negara pun tetap tidak bisa dimiliki secara pribadi. Harta pribadi pun bisa dicabut oleh Allah. Hanya butuh 57 detik untuk menghilangkan harta benda warga Jogkakarta dengan mengirimkan gempa. Tidak perlu berjam-jam untuk ‘menenggelamkan’ aset-aset miliaran dolar yang ada di kapal pesiar Titanic. Pun untuk mengubah standart hidup seorang penguasa yang terbiasa hidup bergelimang harta menjadi turun drastis pun tidak butuh waktu yang lama, sebagaimana terjadi pada mantan presiden Irak Saddam Hussein, Ferdinand Marcos, atau lainnya. Kalau sudah begitu, lantas mengapa seseorang tidak berusaha dekat kepada Pemilik Mutlaknya?

Kepemillikan Allah pun tidak terhenti hanya sebatas bumi saja. Bahkan langit dan segala isinya mutlak dikuasai dan dimiliki oleh Allah. Tidak ada semilimeter pun apa yang ada di langit dan di bumi tidak dimiliki Allah. Uang yang kita pegang, kendaraan yang kita bawa, istri/suami yang menemani kita, perusahaan tempat kita bekerja, bisnis kita, semuanya adalah milik Allah. Bukan milik kita, bukan pula milik kerabat atau atasan kita. Status kita dan mereka adalah sebatas peminjam saja.

Coba kita analogikan seperti ini. Seandainya kita punya kesempatan untuk menjalin keakraban di kantor, kira-kira kepada siapa kita akan lebih banyak menghabiskan waktu buat bergaul? Apakah dengan office boy, manajer, rekan sekerja, direktur, komisaris atau pemilik perusahaan? Bagi yang ingin meniti karir dan meraih kesuksesan di kantor, atau ingin gajinya dinaikkan, tentu kita akan menjalin keakraban dengan pemilik perusahaan. Sebab di tangannya lah segala keputusan lahir. Jika manajer mau memecat kita, tapi pemiliknya masih senang terhadap kita, otomatis kita pun akan tetap bekerja di tempat itu. Sebaliknya, jika pemilik perusahaan sudah benci pada kita, maka sebagus apa pun prestasi kerja tetap tidak akan mempengaruhi keputusannya buat memecat kita. Jika dirunut, maka kebutuhan kita untuk bisa berteman akrab dengan pemilik perusahaan jauh lebih besar daripada kebutuhan kita untuk berteman dengan manajer.

Seperti itulah seharusnya pola pikir kita. Kebutuhan kita terhadap pertolongan Allah haruslah jauh lebih besar daripada kebutuhan kita terhadap uang, jabatan, pekerjaan, istri atau lainnya. Apa susahnya jika Pemilik Kerajaan langit dan bumi ini sudah menolong kita sekalipun kita tidak punya uang, tidak punya kerabat dekat, atau tidak punya pekerjaan? Harusnya kita lebih takut kehilangan Allah daripada kehilangan lainnya. Misalnya, kalau kita butuh pekerjaan, tentu kita akan berusaha bekerja lebih baik agar tidak kehilangan mata pencaharian. Kalau kita butuh kendaraan yang selama ini dipakai, tentu kita berusaha menjaganya agar tidak sampai dicolong maling. Dan kalau kita butuh sama Allah, tentu saja kita harus menjaga hubungan dengan Allah agar Dia tidak meninggalkan kita. Sebab jika Allah sudah meninggalkan kita, lalu kepada siapa kita akan minta pertolongan?

Mari kita berdoa pada Allah, agar Dia menumbuhkan rasa butuh di hati kita kepadaNya melebihi kebutuhan kita terhadap apapun selain Dirinya. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli

Bertakwalah Engkau, Sehari Aja!

Dalam hidup ini tentu kita tidak bisa lepas dari yang namanya masalah. Standar kesulitannya pun berbeda-beda tiap orang. Ada yang ringan dan berat. Respon terhadap permasalahan yang dihadapi pun juga beragam, mulai dari mencoba mendekati diri pada Allah, meminta bantuan orang lain dan bahkan ada yang bunuh diri karena tidak kuat menanggung beban! Padahal masalah adalah bagian dari hidup, dan hidup tentu tidak lepas dari masalah.

Salah satu masalah yang melekat pada hidup seseorang adalah finansial/keuangan. Dan tampaknya ini yang menjadi penyebab dari rentetan kejadian lainnya. Misalnya perceraian karena masalah ekonomi. Masuk penjara karena nyuri ayam buat makan keluarga. Menjadi (maaf) pelacur karena harus menyekolahkan adik-adiknya. Dikejar-kejar orang karena banyak hutang. Dan sebagainya.

Kalau berkaitan dengan ekonomi alias uang, maka solusi yang biasanya kita pikirkan adalah bagaimana mencari uang tambahan. Bagi pejabat yang licik mungkin berpikir untuk nilep uang negara. Bagi karyawan swasta mungkin menggunakan fasilitas kantor untuk proyek luarnya. Bagi pengangguran mungkin meminta uang dari orang tua atau saudara-saudaranya. Bagi pegawai negeri mungkin memanfaatkan posisinya buat memeras masyarakat seperti bikin izin usaha, KTP dan lainnya. Alasan utama biasanya karena gaji tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup.

Pernahkah kita berpikir bahwa rezeki kita ternyata tidak ada hubungannya dengan gaji, tidak ada kaitannya dengan jumlah tabungan, tidak ada sangkut pautnya dengan piutang orang lain terhadap kita? Rezeki kita ternyata bergantung pada kualitas ketakwaan dan ketawakalan kita pada Allah.

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, maka akan dibukakan jalan keluar dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka (QS.65:2-3)

Takwa itu secara sederhana adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Penjabarannya ada tiga hal, yaitu bagaimana kita meningkatkan kualitas ibadah, menambah kuantitas ibadah serta mengurangi frekuensi maksiat. Mari kita lihat contohnya.

Si Bedu punya hutang 10 juga rupiah. Untuk melunasinya, si Bedu minta tolong sama Allah supaya ia dibukakan pintu rezeki. Maka Bedu pun menambah kuantitas ibadahnya, dari yang tadinya hanya sholat wajib kini sholat sunnah rawatib juga dikerjakan. Dari yang hanya membaca Al-Qur’an sehari sekali, maka menjadi sehari lima kali. Dari sisi kualitas ibadah, Bedu berusaha sholat lebih khusyu’, bersedekah lebih ikhlas, berusaha menghadirkan Allah dalam setiap aktivitasnya. Sementara untuk mengurangi kemaksiatan, Bedu mengurangi ngumpul bareng sama teman-temannya karena biasanya yang dibicarakan adalah obrolan yang mengundang dosa, mengurangi nonton teve yang banyak mengumbar aurat, dan tidak baca tabloid gosip lagi.

Semua hal ini merupakan ikhtiar ruhiyah untuk mendatangkan pertolongan Allah. Namun yang sering kita pikirkan adalah, kenapa Allah tidak juga menolong kita? Toh hutang kita makin hari malah bertambah banyak, bukannya berkurang. Daripada kita menuntut Allah untuk segera membuka sumber-sumber rezeki, mengapa kita tidak bertanya pada diri sendiri, apakah ketakwaan kita pada Allah sudah maksimal? Jangan-jangan kita malah semakin sering bermaksiat pada Allah. Ada dosa-dosa baru yang tidak disadari sudah kita lakukan.

Maka kita harus memotivasi diri sendiri untuk bertakwa pada Allah. Kalau masih berat, berpikirlah bahwa kita bertakwa hanya untuk sehari saja. Dalam satu hari tingkatkan kualitas ibadah kita, tambah kuantitas sholat kita, dan kurangi kegemaran kita akan maksiat. Tidak perlu berpikir yang jauh-jauh dulu, cukup memikirkan untuk bertakwa satu hari saja. Besoknya kita pun berusaha untuk tetap bertakwa. Dan seterusnya.

Kalau kita sudah melakukannya, insya Allah pertolongan Allah sudah dekat.

Muhammad Zulkifli

Menjadi Hamba ’Ekslusif’

Bila kita perhatikan ayat-ayat Allah SWT di Al-Qur’an, biasanya Allah menyelipkan perkataan seperti bagi siapa saja yang Dia Kehendaki. Kalimat ini bersanding dengan kosa kata ampunan, rezeki, penyucian, dsb. Misalnya Allah mengampuni dosa selain syirik bagi siapa saja yang Dia kehendaki (QS.4:48) Ini berarti pengampunan dan rezeki adalah sesuatu yang ekslusif dan bergantung pada kehendak Allah bila dilihat dari sisi pemberian Allah. Namun ada juga segolongan orang yang justru memiliki sifat ekslusif. Sifat ini tidak semua orang yang memilikinya, dan kalau pun ada yang memilikinya hanya segelintir manusia. Sifat tersebut adalah rasa syukur.

Sesungguhnya Allah memberikan karunia kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur (QS.2:243)

Di situ jelas sekali disebutkan bahwa banyak manusia yang tidak bersyukur. Berarti secara logis bisa kita simpulkan hanya sedikit manusia yang bersyukur. Hal ini dipertegas lagi dalam surah Al-A’raf ayat 10: Dan sungguh Kami telah menempatkan kamu di bumi dan di sana Kami sediakan penghidupan untukmu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.

Para pakar psikologi dan motivasi seperti Norman Vincent, Zig Ziglar, Harold Sherrman sepakat bahwa bersyukur adalah salah satu cara untuk meraih apa yang kita cita-citakan. Bahkan Erbe Sentanu melalui konsep Quantum Ikhlas-nya menyebutkan bahwa rasa syukur adalah bentuk dari positive feeling sebagai ganti dari positive thinking yang daya tariknya terhadap energi alam semesta lebih rendah.

Syukur itu sederhana, tetapi tidak mudah. Ketika kita dapat nikmat kita mungkin mudah untuk bersyukur. Tapi ketika Allah menguji kita dengan kesempitan, penderitaan ataupun kehilangan sesuatu, maka bisa jadi kita ’buta’ terhadap karunia Allah lainnya. Kita lebih menekankan pada aspek negatif dari kejadian yang kita alami, dan cenderung menyalahkan Allah. Karena itulah Rasulullah saw selalu menganjurkan kita untuk melihat orang-orang yang lebih berkekurangan agar rasa syukur kita kian terasah. Misalnya ketika kita bosan dengan kondisi lingkungan kerja kita, maka lihatlah teman kita yang masih menganggur. Atau ketika kita pusing dengan urusan rumah tangga, maka lihatlah teman kita yang hingga saat ini masih kesulitan mendapat jodoh. Ketika kita terlilit hutang sekian ratus ribu, lihat pula mereka yang tercekik hutang jutaan rupiah. Dan seterusnya.
Uniknya, bagi hamba ekslusif, maka Allah pun memberi reward langsung kepadanya tanpa ada syarat.

Allah akan memberikan balasan kepada orang yang bersyukur (QS.3:144)

Dan Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur (QS.3:145)

Semoga kita menjadi hamba-hambaNya yang bersyukur.

Muhammad Zulkifli 

Mengejar Ampunan Allah

Apakah yang lebih bernilai dari hidup ini selain ampunan Allah SWT? Jika waktu kecil pernah berbuat kesalahan pada orang tua kita, mungkin dampaknya orang tua kita tidak akan memberi uang jajan selama satu minggu. Kalau kesalahan itu terhadap guru sekolah kita, efeknya nilai rapor kita pun ikut berpengaruh. Semasa kuliah, kita pernah membuat marah dosen kita, dan sebagai akibatnya tugas akhir kita pun dipersulit, saat sidang malah dijatuhkan. Masuk dunia kerja dan melakukan kesalahan prosedur operasional, bisa-bisa selain kena surat peringatan, karir kita pun bisa tamat sampai di situ.

Demikian pula bila kita berbuat salah kepada Allah. Bukan hanya urusan dunia saja yang bakal repot, bahkan di akherat nanti bisa-bisa kita termasuk orang-orang yang merugi. Naudzubillah. Di dunia ini, kesalahan alias dosa kepada Allah bisa menyumbat keran-keran rezeki kita, bisa menjauhkan kita dari jodoh yang sudah Allah tetapkan buat kita, bisa menunda kita mendapat anak, bisa mempersulit segala urusan kita, bisa membuat orang lain benci pada kita, bisa menghambat cita-cita kita, bisa menggerogoti harta benda kita, bisa mendatangkan musibah dan sebagainya. Sedangkan di akherat lebih parah lagi. Selain bisa menenggelamkan kita, dosa pun bisa membuat neraka rindu untuk memeluk tubuh kita.


Untunglah Allah masih memberi kesempatan pada kita untuk bertaubat. Kita tidak hanya disuruh minta ampunan, tapi justru disuruh bergegas mengejar ampunan tersebut. Ampunan Allah bersifat ekslusif, Dia berikan pada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan sebagai ’produk’ ekslusif yang tidak ’pasaran’, maka (seharusnya) banyak yang memburunya, banyak yang mencarinya dan banyak pula yang mengejarnya. Ibarat handphone keluaran terbaru, tentu banyak orang yang mencari-cari dan takut tidak mendapatkannya.


Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa (QS.3-133)


Kita disuruh bersegera dalam mencari ampunanNya, seolah kalau kita tidak cepat-cepat mencarinya kita akan kehilangan momentum tersebut. Dan memang kesempatan untuk mendapatkan ampunan tersebut bisa jadi sangat langka. Kesempatan-kesempatan tersebut terangkum dalam ayat 134 pada surah yang sama, yaitu berinfak di waktu lapang dan sempit, menahan marah dan memaafkan kesalahan orang lain. Tiga kesempatan itu sangat jarang kita peroleh, dan kalau pun kita mengalami moment tersebut, bisa jadi kita tidak maksimal memanfaatkannya. Contoh, ketika kita dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan, ada teman yang mau pinjam uang. Ini adalah kesempatan untuk mendapatkan ampunan Allah, namun seringkali kita enggan mengeluarkan sebagian isi dompet untuk menolong teman tersebut. Atau ketika ada orang lain yang mencaci maki kita, sangat boleh jadi kita akan balas memakinya dibanding diam menahan marah. Dan ketika kita punya kesempatan untuk membalasnya, kita lebih memilih melampiaskan dendam ketimbang memaafkan orang tersebut. Ini berarti kita tidak bersegera mencari ampunan Allah.


Saat-saat seperti itu sebenarnya adalah peluang yang Allah berikan pada kita untuk mendapat hak ekslusif berupa ampunan. Namun sayangnya, kita lebih memilih santai-santai saja dalam mencari ampunan, seolah ampunan itu akan Allah berikan tanpa usaha dari kita untuk mendapatkannya. Semoga kita termasuk orang-orang yang mengejar ampunan Allah dengan menjadi pribadi yang gemar bersedekah, menahan amarah ketika mampu marah, serta memaafkan orang-orang yang pernah merugikan kita. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli