Desember 02, 2009

Rezeki Tidak Kemana-Mana


Rezeki memang rahasia Allah. Tapi semoga apa yang saya alami ini bisa menambah ibroh bagi pembaca semua.

Ketika kami selesai melakukan wukuf di Arafah, malamnya kami santai-santai di dalam tenda sambil nunggu bus jemputan yang akan mengangkut ke Muzdalifah. Sambil menunggu, saya tidur-tiduran karena memang tidak ada aktivitas yang berarti. Di dalam tenda tidak ada lampu/petromax sehingga kami tidak bisa tilawah atau membaca buku. Sementara jamaah lain ada yang memilih ngobrol satu sama lain.

Tidak lama kemudian datang seorang Arab (seingat saya dia bukan petugas haji) membawa gerobak berisi berkotak-kotak makanan ringan/cemilan. Spontan semuanya pada menghampiri orang tersebut dan berebut mengambilnya, termasuk saya. Namun “malang” bagi saya, kotak tersebut keburu habis. Padahal dilihat dari kemasannya yang besar serta ekslusif, saya menerka kalau makanan ringan yang diberikan secara gratis tersebut pasti mahal dan enak. Tapi saya berpikir mungkin ini bukan rezeki saya. Apalagi selain kami, jamaah lain di tenda-tenda tetangga juga pada berebutan. Otomatis kecil kemungkinan bagi saya untuk mendapatkannya.

Saya memilih rebahan lagi dipinggir tenda sambil menatap langit Arafah. Tidak lama saya rebahan, tiba-tiba datang orang Arab lainnya membawa gerobak baru yang berisi penuh dengan berkotak-kotak makanan ringan tadi, berhenti dan menjatuhkannya persis di samping saya! Saya kaget! Di saat orang lain berebutan, saya dengan mudahnya mendapatkannya dan bukan hanya satu, tapi berkotak-kotak! Segera saya ambil 3 kotak, 1 untuk saya dan 2 lagi untuk orang tua. Jamaah lainnya ikut mengambil di samping saya.

Baru-baru ini saya membaca sebuah artikel bagus dari Ustad Yusuf Mansur. Kata beliau, kalau dunia mau datang kepada kita, sikap kita adalah pura-pura tidak mau menerimanya. Kalau sikap kita mengejar-ngejar dunia, maka dunia akan lari dari kita. Erbe Sentanu, pelopor Quantum Ikhlas juga menyebutkan, kalau kita mengikhlaskan keinginan kita, insya Allah keinginan tersebut akan cepat tercapai ketimbang kita ngotot mengejar keinginan tersebut. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli

November 23, 2009

Pengemis = Preman?

Diriwayatkan dari az-Zubair bin al-‘Awwâm Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ.

"Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, mereka memberinya atau tidak memberinya".

Sudah menjadi kebiasaan di Indonesia, ketika bulan Ramadhan tiba jalan-jalan penuh dengan peminta-minta. Mulai dari anak-anak, ibu-ibu muda yang gendong bayi, nenek-nenek, bapak-bapak yang renta, sampai mereka yang cacat fisiknya. Entah siapa yang mengkoordinir, tiba-tiba mereka muncul di tengah-tengah kita, tersebar di berbagai titik dan berkumpul di dekat masjid serta lampu merah.

Saya tidak menyangka juga kalau ternyata budaya mengemis ini ’diimport’ oleh masyarakat Arab Saudi dari kita. Menjelang musim haji begitu banyak pengemis berkeliaran di sekitar masjid Nabawi dan Makkah. Pengemis di Makkah lebih banyak daripada di Madinah. Sepanjang jalan saya menuju Masjidil Haram dari maktab, berbagai ”jenis” pengemis tampil di sana, mulai dari yang tidak punya kaki, tidak punya tangan, tidak punya kaki dan tangan, dan ada juga yang lengkap anggota tubuhnya tapi mengejar-ngejar jamaah untuk minta duit. Selain itu, kalau pengemis Indonesia ’malu-malu’ menunjukan uang yang ia dapatkan dari hasil ”kerjanya”, tapi pengemis di sana justru memamerkan tumpukan uang hasil pemberian jamaah yang ’kasihan’ padanya dengan terang-terangan. Dan uniknya lagi, kalau pengemis Indonesia menerima uang dengan sikap pasif, tapi kalau pengemis sana justru secara agresif merebut uang dari tangan jamaah yang mau memberi.

Pengemis di sana barangkali tahu kalau doktrin yang disuntikan kepada jamaah haji, khususnya dari Indonesia, adalah bila menemukan tukang minta-minta berikan sebagian uangmu. Doktrin ini sama seperti kalau bulan Ramadhan harus banyak-banyak bersedekah. Ini tidak salah, tapi sangat berlebihan. Budaya memberi tanpa pandang bulu ini ternyata menimbulkan sifat pemalas dan mental peminta di kalangan umat Islam. Sebab banyak dari masyarakat kita yang marginal secara sosial tapi mampu bertahan hidup dengan bekerja tanpa harus menjadi pengemis. Perhatikanlah secara seksama, banyak para pemulung yang ternyata sudah berumur sangat tua. Mereka memilih cara bertahan hidup dengan cara memulung, bukan mengemis. Lihat juga tukang sapu di jalalan, ternyata tidak sedikit yang wanita tua, yang seharusnya di umur seperti itu sudah bisa menikmati hidup dan bermain dengan cucu. Sekali-kali juga pandanglah tukang koran di lampu merah, selain anak kecil atau remaja, ternyata ada juga kakek-kakek di antara mereka. Semua ini menunjukkan bahwa mengemis itu adalah budaya, dan bukan karena dampak akibat ketidakadilan sosial.

Ketika saya sedang berada di Singapura, saya menemukan hal menarik lainnya berkaitan dengan mengemis. Ternyata di sana banyak orang tua yang sudah sangat sepuh bekerja di tempat-tempat yang ”kurang layak” untuk orang seumuran mereka, misalnya sebagai penjaga toilet umum, sopir taksi, pelayan restoran, bahkan cleaning service di mal. Pemerintahnya (dan mungkin juga rakyatnya) telah berhasil membangun mental kemandirian, bahwa umur dan kekurangan tidak bisa dijadikan alasan untuk menjadi tukang minta-minta.

Umat Islam perlu membangun mental kemandirian ini, karena Rasulullah saw sudah mewanti-wantinya 1400 tahun yang lalu. Sebab mental meminta itu bisa bergeser menjadi mental pemalak. Seperti pengalaman saya ketika dikejar lima orang pengemis gara-gara saya memberi salah satu dari mereka uang sebesar 1 Real, dan teman-temannya mengejar saya untuk ”minta jatah” yang sama. Saya baru ”selamat” dari pengejaran ini setelah masuk ke wartel, dan kelima pengemis itu diusir oleh pemilik wartel. Ternyata di Tanah Suci, perbedaan antara pengemis dan preman di sana sedemikian tipis. Hanya mungkin profesi preman di sana tidak pernah mendapat ”status” dari masyarakat. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli

November 17, 2009

Utamakan Akhlak dibanding Fikih


Alhamdulillah, di tahun 2002 saya dan kedua orang tua mendapat rezeki dari Allah SWT untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Suka duka dan sepenggal hikmah telah saya dapatkan selama 40 hari di sana, dan khusus menyambut Idul Adha saya akan menulis tentang apa dan bagaimana proses saya selama menjalani ibadah. Insya Allah bukan untuk riya atau pamer, tapi sekedar berbagi ilmu dan berbagi solusi.

Sekitar enam bulan sebelum berangkat, saya dan jamaah lainnya ikut dalam pelatihan manasik haji yang diselenggarakan oleh Departemen Agama Kanwil Bandung. Setiap hari Ahad kami datang untuk belajar dan menghafal doa. Di situ juga ketua rombongan dan ketua regu disusun agar mempermudah koordinasi nantinya di sana. Saya sendiri terpilih sebagai ketua regu dari rombongan 4 Kloter 6.

Sebenarnya tidak ada yang keliru dari proses manasik ini. Kami diberi buku panduan, diajarkan cara melafadkan doa-doa, diceritakan tentang kondisi di sana, dan apa saja yang harus dipersiapkan. Berminggu-minggu kami dijejali ilmu tentang ”apa yang harus kami baca ketika melakukan apa”. Istilahnya, fokus kami adalah bagaimana rukun haji dan doa-doanya sudah kami hafal ketika sampai di sana nanti.

Sejujurnya karena itu pengalaman pertama, saya belum melihat ada sesuatu yang perlu dibenahi dari pelatihan ini. Namun saya baru menyadari apa yang belum ada dalam penyelenggaraan manasik ini ketika sudah berada di sana. Inilah inti pokok kenapa banyak jamaah haji yang pulang dari tanah suci prilaku dan perbuatan buruknya tidak berubah.

Bermula ketika seorang Ustadz (yang ditunjuk oleh Depag sebagai pembimbing rohani jamaah Kloter saya) membagi-bagikan makan siang di maktab. Wajahnya yang tidak ramah dan merengut (mungkin karena capek) berkata ketus kepada seorang jamaah yang jauh lebih tua darinya ketika jamaah tersebut bertanya dengan sopan: boleh ga kalau makanan ini diambil setelah selesai sholat. Dengan ketus ia berkata,” Tidak! Tidak bisa!”. Jamaah tersebut itupun berlalu tanpa berminat mau mengambil jatah makannya, terlanjur kesal dengan jawaban si Ustadz.

Di kamar maktab, seorang ibu-ibu mengungsi ke kamar kami karena teman satu kamarnya masak di dalam kamar sehingga asapnya mengganggu pernafasan dia. Di Padang Arafah, yang seharusnya dijadikan tempat merenung dan bertafakur, malah oleh sebagian jamaah ibu-ibu dijadikan tempat untuk menggunjingi temannya yang lain. Di Muzdalifah, gantian bapak-bapaknya yang menggunjingi ketua rombongan karena tidak puas dengan kepemimpinan beliau.

Pulang dari ibadah haji, uang urunan para jamaah yang masih tersisa banyak tidak dikembalikan oleh ketua rombongan dan bendahara. Alasannya mau dipakai untuk acara-acara kebersamaan. Namun hingga tiga tahun sejak 2002,  uang itu pun tidak dikembalikan oleh ketua dan bendahara kami. Salah satu jamaah menagih terus menerus karena ia lagi membutuhkan uang, dan akhirnya dikembalikan dalam keadaan tidak utuh.

Apa masalah dari semua ini? Aklak! Ini yang tidak diajarkan dalam manasik haji yang kami ikuti. Manasik itu hanya fokus pada masalah fiqh, tata cara, rukun, dan hal teknis lainnya. Bukannya tidak penting, namun jika tidak diimbangi dengan pembelajaran dan persiapan akhlak, maka semua ibadah itu akan terasa kering. Apakah kita merasa bahagia ketika mulut ini mampu mencium Hajar Aswad, tetapi mulut ini juga suka menebar aib orang lain? Apakah kita merasa sudah mabrur, ketika tangan ini sering memegang Raudhoh, tapi tangan ini juga yang menahan hak orang lain? Apakah ibadah kita diterima, ketika masih banyak orang yang merasa dirugikan oleh perbuatan tangan dan lisan kita?

Ibadah haji adalah ibadah akhlak, bukan sekedar ibadah fikih. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli

November 04, 2009

Dai Bis Kota



Sesungguhnya Allah memiliki karunia kepada manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. (QS.Al-Baqarah:243)

Pengamen yang saya lihat di bis patas AC jurusan Cikarang ini memang terlihat sedikit berbeda. Bukan secara fisik melainkan perilakunya. Setelah membawa beberapa lagu, tiba-tiba saja dia mendekati salah seorang perempuan muda dan menyanyikan lagu cinta dengan suara yang rendah, sambil menundukkan kepalanya mendekati wajah wanita itu. Penumpang tersebut tidak merespon, hanya duduk diam terpaku. Barangkali malu. Tapi si pengamen bukannya menghentikan aksi “norak”nya itu, malah semakin mendayu-dayu bernyanyi dan mendekati bibirnya ke wajah wanita itu. Lagu itu khusus ditujukan kepadanya. Entah apa alasan yang membuat dia berbuat seperti itu.

Setelah satu lagu selesai, kembali dia menghadap ke “hadirin” para penumpang bus dan mulai nyanyi dengan suara normal lagi. Entah disengaja atau tidak, gitarnya mengenai bahu wanita lain di sisi kirinya. Wanita tersebut protes, dan pengamen tersebut meminta maaf. Namun mungkin karena wanita itu sudah tidak simpati gara-gara aksi norak sebelumnya, ia malah ngedumel. Si pengamen masih berusaha minta maaf dan menjelaskan kalau ia tidak sengaja, namun wanita tersebut masih terus berbicara. Puncaknya, ia memaki wanita itu dengan satu kata kasar yang tak pantas saya sebut di sini. Sebuah kata yang merepresentasikan ke sosok ”wanita nakal”. Setelah itu bis jadi hening sambil tetap melaju di tol dalam kota.

”Orang seperti saya memang tidak pernah diharapkan,” ia memulai berorasi. “Saya yatim piatu sejak kecil, tidak makan sekolahan, tidak punya ijazah dan tidak punya pekerjaan. Saya akan turun dari bis ini, tapi tolong anda semua berikan saya pekerjaan.” Ia berjalan depan belakang sambil menengadahkan tangan, simbol meminta pekerjaan.

Saya mulai merenung. Logikanya masuk akal, meski validasi statemennya perlu dipertanyakan.

”Lihat baik-baik muka saya! Hafalkan! Nama saya Hari! Saya mangkal di Komdak. Kalau bapak ibu mau mencari saya silahkan cari disana!” tantangnya.

”Saya bersyukur bisa belajar main gitar, bisa mengamen. Ini adalah bentuk rasa syukur yang saya miliki. Sekarang, apa rasa syukur anda ketika melihat orang-orang seperti saya?”

Glek! Saya rasa saya tidak perlu mencari tahu lagi apakah ia benar-benar anak yatim, tidak pernah sekolah dan tidak punya ijazah. Kalau pun dia kenyataannya bukan anak yatim dan pernah sekolah, tapi kalimat terakhirnya benar-benar menyentak hati kecil saya dan mungkin orang-orang di bis itu. Betapa kita sering mengeluh tentang keadaan diri kita, ketika tidak punya uang, tekanan pekerjaan, sulitnya mendapat jodoh, banyak hutang, dikejar-kejar orang, dan lainnya. Padahal nasib kita jauuuuuh lebih baik dari pada orang-orang seperti pengamen ini. Betapa mereka harus bertahan hidup dengan bersempit-sempit menyanyi di bis kota, berjualan asongan, baca puisi di tengah berisiknya suara deru lalu lintas, berdangdut ria sambil bawa speaker dan mic, padahal hasil tidak seberapa. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang melakukan semua itu dalam keadaan lapar dan haus!

Tiba-tiba saya ingat salah seorang kenalan, bapak-bapak tua penjual koran di depan halte busway Komdak. Ketika saya tanya jam kerjanya, beliau menjawab, ”Jam 4 subuh saya sudah berdagang, dan baru pulang jam 10 malam.” Masya Allah! Dia sudah kerja ketika saya belum bangun, dan masih kerja ketika saya sudah tidur! Berapa penghasilannya? Jangan tanya. Sebab kalau penghasilannya besar, tentu ia tidak tidur di rumah papan yang berada di dalam pagar pembatas di depan mal Pasific Place.

Rasa syukur sudah hilang dalam diri kita, hanya karena Allah menguji kita dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan (QS.2:155). Seolah Allah tidak pernah memberikan apapun kepada kita sehingga kita merasa berhak untuk mengeluh.

Hari, si Pengamen itu sejatinya adalah dai dalam konteks ini. Dia menggugat rasa syukur yang telah hilang pada diri kami. Dan ’tausiyah’ nya sungguh kena. Setidaknya pada diri saya. Wallahu’alam.

Sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahaan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir (QS.79:19-21)

Muhammad Zulkifli

November 02, 2009

Dahsyatnya Doa Anak Yatim

tentang dunia dan akhirat. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jika Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.Al-Baqarah:220)



Ketika saya masih aktif di Yayasan Himmata tahun 2006, yaitu sebuah yayasan sosial yang mengayomi dan menghidupi anak-anak jalanan di Jakarta, ada salah seorang istri menteri dari Kabinet Indonesia Bersatu yang pertama datang ke daerah Plumpang, Jakarta Utara. Menemui pengurus yayasan, beliau kemudian meminta kepada kami untuk memanggil beberapa anak yang sudah tidak punya orang tua lagi dari kumpulan anak-anak jalanan yang diasuh untuk maju ke depan. Sebagai informasi tambahan, suami ibu ini adalah menteri salah satu departemen yang saat itu kinerjanya sangat buruk dalam penilaian masyarakat.
Ketika menteri tersebut memimpin departemennya, banyak kejadian-kejadian yang merugikan masyarakat. Karena itu muncul tuntutan publik agar menteri tersebut mengundurkan diri.
Singkat cerita, ibu ini minta didoakan oleh anak-anak yatim dari Yayasan Himmata agar suaminya diberi ketabahan, kelapangan dan keberhasilan dalam tanggung jawabnya saat ini. Tidak lupa sebagaimana orang-orang yang punya hajat, beliau pun menyisipkan bingkisan untuk mereka.
Kini suami ibu tersebut sudah tidak menjabat lagi sebagai menteri di departemen tersebut. Oleh Presiden SBY ia diberikan posisi strategis sebagai menteri koordinasi yang membawahi menteri-menteri lain yang membidangi masalah khusus.
Masih di tahun yang sama, salah seorang kerabat saya menderita tumor otak. Beliau koma hingga berhari-hari. Dokter pribadi yang biasa menangani bahkan sudah mengatakan tidak ada harapan lagi. Pihak keluarga masih mencoba mencari jalan keluar bagi kesembuhan beliau. Saya yang saat itu sempat melihat kondisi kerabat tersebut, berharap ada keajaiban yang datang dari Allah sehingga beliau bisa pulih dan sehat kembali. Dan saya melihat harapan itu dititipkan Allah melalui Yayasan Al-Aqsa, sebuah yayasan yatim piatu yang berlokasi di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Saya mendatangi yayasan tersebut, menyedekahkan sejumlah uang dan meminta kepada pengurusnya agar nanti malam, ketika anak-anak asuh selesai sholat maghrib, saya mohon agar kerabat saya yang koma itu didoakan kesembuhannya. Sambil saya juga meminta pengurus Yayasan Himmata juga mendoakannya. Hasilnya, beliau tersadar dari koma, sembuh, dan kini sudah bisa berkumpul lagi bersama keluarga tercintanya. Anehnya, dokter pribadi yang mengklaim bahwa sudah tidak ada harapan lagi itu justru sudah meninggal duluan!
Dalam Al-Qur’an, kata ”yatim” disebut 23 kali. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat memuliakan anak yatim. Tidak heran bagi sebagian besar orang yang memiliki hajat, cita-cita, atau sekedar merayakan ulang tahun, selalu mengundang anak-anak yatim. Bahkan Aburizal Bakrie, ketika berlaga untuk memperebutkan kursi Ketua Umum Partai Golkar menyantuni 1500 anak yatim piatu di Riau. Terbukti akhirnya Ical, panggilan akrab Aburizal Bakrie berhasil memenangkan kompetisi tersebut.
Bila kita saat ini sedang dirundung duka, kesempitan rezeki, hutang yang menumpuk, kesulitan hidup, tidak ada salahnya kita menggunakan lisan-lisan anak yatim sebagai jalan kita untuk meraih pertolongan Allah SWT. Datanglah ke yayasan mereka, atau undanglah mereka datang ke rumah kita. Insya Allah segala permasalahan kita bisa diselesaikan melalui perantara doa mereka. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli

Oktober 29, 2009

’Jalan lain’ keluar dari kemiskinan

Namun apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, “Tuhanku telah menghinaku.” Sekali-kali tidak! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, sedangkan kamu memakan harta warisan dengan cara mencampurbaurkan, dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan (QS.89: 16-20)
Seringkali seseorang ketika dihimpit kesempitan rezeki, banyak hutang dan banyak tuntutan kebutuhan yang mendesak, menganggap ibadahnya sudah maksimal sehingga berhak mendapatkan pertolongan Allah. Sholat sudah tepat waktu, dhuha didawamkan, sedekah rutin, bahkan sampai puasa Senin-Kamis segala. Namun ketika ia mendapati dirinya masih diselimuti kesempitan ekonomi, hutang yang bukannya berkurang tapi malah nambah, serta kesulitan dalam mencari rezeki tambahan, cenderung mulai meragukan kekuasaan dan inayah dari Allah SWT. Muncullah prasangka-prasangka negatif terhadap Allah, seperti Allah tidak peduli kepadanya, Allah tidak menepati janjiNya, Allah tidak mau menolongnya, dan yang lebih parah lagi kalau ia sampai menganggap bahwa Allah telah menghinanya!
Kehidupan ini berputar, kadang banyak uang, tak jarang banyak hutang. Kadang lapang, kadang sempit. Kadang mengejar-ngejar orang yang punya hutang, kadang juga dikejar-kejar orang yang berpiutang. Seandainya hidup kita lapang terus, barangkali kita tidak pernah merasakan kepasrahan total kepada Allah, dan mungkin kita terlena oleh keberlimpahan itu sendiri. Dan sebaliknya, kalau hidup terus menerus sempit, bisa jadi lama-lama akan mengganggu konsentrasi ibadah kita, dan produktivitas yang seharusnya bisa diarahakan untuk perbaikan umat malah habis untuk memikirkan bagaimana menyambung hidup esok hari. Begitulah sunatullah yang berlaku, sehingga Allah melapangkan rezeki dan menyempitkan rezeki kita di lain waktu, agar kondisi apapun yang kita terima bisa mempertahankan, bahkan meningkatkan kualitas keimanan kepada Allah.
Bagi yang sedang sempit rezekinya, ada baiknya merenungi surat Al-Fajr di atas. Ternyata ada alasan lain kenapa Allah SWT tetap ‘awet’ mempertahankan kondisi kita yang serba kekurangan. Sedikitnya ada empat alasan yang membuat kita tetap ’setia’ dengan kemelaratan. Yang pertama adalah karena kita tidak memuliakan anak yatim. Sungguh berat memuliakan anak yatim ini. Caranya bukan sekedar bersedekah rutin tiap bulan untuk kehidupannya, tapi juga memperlakukan mereka sama seperti memperlakukan anaknya sendiri. Anak yatim secara psikologis jelas berbeda dengan anak yang masih memiliki orang tua yang lengkap. Prasyarat memelihara anak yatim pun tidak enteng, sebagai contoh kita dilarang menghardik, membentak, dan berprilaku kasar. Ada seorang ibu-ibu yang mengasuh anak yatim di rumahnya, seringkali ia harus ”makan ati” dengan prilaku mereka, baik itu hobinya yang suka pergi tanpa pamit, suka berbohong, tidak mampu mengemban tanggung jawab sekecil apapun, padahal beliau sudah berusaha memperlakukan anak tersebut setara dengan anak kandungya, baik secara materi maupun psikologis. Ibu ini takut memarahi anak asuhannya itu, sebab agama melarangnya. Dan inilah tantangan terberat dari memuliakan anak yatim. Bila saat ini kita sedang memelihara anak yatim di rumah, silahkan intropeksi diri. Barangkali terlalu banyak prilaku kasar kita kepada mereka sehingga inilah yang menyebabkan rezeki kita masih terbatas dan sempit.
Yang kedua adalah tidak saling mengajak untuk memberi makan orang miskin. Seringkali orang yang mengalami kesempitan rezeki mencoba bersedekah sebagai jalan keluar dari permasalahnnya. Ini sangat bagus sekali. Dan lebih bagus lagi kalau ia juga mengajak orang lain untuk bersedekah. Bersedekah secara jamaah, barangkali itu kalimat yang paling tepat. Kalau kita hobi menyumbangkan uang kita per bulan ke yayasan zakat, mengapa kita tidak mengajak juga orang lain untuk ikut berpartisipasi? Banyaknya bencana alam yang menyebabkan angka kemiskinan bertambah juga merupakan sarana kita untuk mengajak orang lain beramal, khususnya memberi makan orang miskin. Jika kita hanya menikmati aktivitas bersedekah dan beramal sendirian saja, jangan salahkan Allah SWT kalau rezeki kita masih seret.
Ketiga adalah memakan harta warisan dengan mencampurbaurkan. Kalau kita berasal dari keluarga yang kaya raya, kemudian orang tua mewariskan harta tersebut pada kita dan harus dibagi rata dengan saudara-saudara yang lain, maka kita harus segera meng-screening warisan kita, benarkah tidak ada hak orang lain yang ada di situ? Jika ada, lebih baik segera kita kembalikan agar harta tersebut tidak menghalangi rezeki kita.
Terakhir adalah kita terlalu mencintai harta secara berlebihan. Barangkali sebelumnya kita pernah punya mobil mewah dan gara-gara mobil itu kita jarang sholat di masjid karena takut digores orang. Atau kita pernah punya Blackberry yang membuat kita lalai dari sholat tepat waktu. Bisa jadi juga kita pernah memiliki perusahaan yang sudah cukup menghasilkan namun bisnis tersebut malah menjauhi kita dari sholat berjamaah. Penyakit cinta dunia adalah penyakit kronis yang sangat mempengaruhi deras atau keringnya aliran rezeki kita.
Keempat hal ini adalah merupakan ’jalan lain’ buat kita untuk meraih kelapangan rezeki. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli

Oktober 28, 2009

Bencana Alam dan Nahyi Mungkar

Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa. (QS. Hud: 116)
Bangsa kita sudah akrab dengan bencana. Mulai dari gunung meletus, gempa bumi, banjir besar, tsunami, kebakaran hutan atau bahkan kedatangan Miyabi! Bencana alam yang menimpa negeri kita saat ini disikapi dengan beragam pendapat. Yang paling umum adalah bencana ini dianggap sebagai teguran dari Allah SWT terhadap makluk2nya yang lalai.
Mengapa kita selalu dirudung bencana? Prasyarat apa yang harus dipenuhi suatu kaum/bangsa agar bencana itu datang menghampiri? Benarkah bencana itu datang karena di suatu negeri itu terdapat banyak golongan yang ingkar, dan tidak ada satu pun orang yang ”baik-baik” ?
Sebenarnya negeri ini ditimpa bencana bukan karena tidak adanya orang-orang yang sholeh, melainkan karena banyaknya orang-orang sholeh yang memiliki kelebihan/keutamaan tetapi tidak ada yang mencegah kemungkaran. Inilah penyebab yang bisa kita lihat dari ayat di atas.
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang-orang yang diselamatkan Allah adalah mereka yang memiliki keutamaan dan mencegah kemungkaran masyarakatnya. Dan jumlahnya sangat sedikit. Makanya Allah bertanya: mengapa tidak ada?
Jika seseorang yang memiliki keutamaan, baik itu kekuasaan, ilmu, pengaruh sosial, intelektual yang tinggi, kekuatan fisik yang tangguh, tidak mampu mencegah suatu kemungkaran yang ada di depan matanya, sementara sebenarnya ia mampu, maka prasyarat turunnya bencana sudah terpenuhi. Tidak heran bila kita ingin mempengaruhi seseorang atau mencegah kemungkaran maka kita harus memiliki keutamaan. Seorang pelajar yang sholeh yang pernah menjuarai Olimpiade Sains tingkat nasional, ketika menasehati temannya yang tidak pernah sholat tentu lebih masuk ketimbang kalau pelajar tersebut tidak punya prestasi apa-apa. Seorang Gubernur atau kepala daerah tentu mempunyai kekuasaan untuk menutup tempat-tempat prostitusi ketimbang aktivis dakwah yang tidak memiliki jabatan apapun di pemerintahan. Seorang ahli beladiri yang berhasil menaklukkan penjahat dan menasehatinya untuk bertaubat lebih ”kena” ketimbang korban kejahatan yang menasehati perampoknya.
Dari surah Hud (11) terdapat banyak sekali hikmah tentang mengapa kaum para Nabiyullah menolak dakwah utusan Allah tersebut. Misalnya kaum Nabi Nuh yang menolak dakwah beliau karena pengikutnya Nabi Nuh adalah orang-orang yang lebih rendah status sosialnya, yang mudah percaya, dan Nabi Nuh sendiri dianggap tidak memiliki kelebihan apapun (ayat 27). Nabi Syuaib ditolak oleh kaumnya karena beliau dianggap adalah orang yang lemah di antara mereka dan dianggap tidak punya wibawa (ayat 91).
Intinya adalah keutamaan. Siapapun yang memiliki keutamaan bisa mencegah sebuah kemungkaran dalam skala apapun. Jika tidak melakukannya, maka bencana hanya menunggu waktu. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli

Oktober 21, 2009

Mengapa Harus Dengki?

Bila kamu memperoleh kebaikan, maka hal itu menyedihkan mereka, dan kalau kamu ditimpa kesusahan maka mereka girang karenanya.” (QS. Ali Imran: 120)
Saya hanya tersenyum geli dan merasa senang melihat Taufik Kiemas memimpin sidang MPR kemarin. Pendapat bahwa sidang kemarin sangat lucu dan memalukan, saya setuju sekali. Baru kali ini dalam sejarah bangsa Indonesia, sidang yang dihadiri para pejabat, mantan pejabat serta tamu negara sahabat terlihat unik dan menggelitik. Betapa kualitas seseorang itu terlihat jelas ketika ia mendapat sebuah jabatan, apalagi kalau sebelumnya jabatan itu dia yang minta. Ketika akhirnya dia tidak bisa mengemban amanat tersebut, masyarakat langsung menilai apatis, bahkan menertawakan.
Sebelum masuk ke ruang sidang, seperti yang diberitakan detik.com, Taufik Kiemas tampak penuh percaya diri. Jabatan bergengsi yang ia sandang barangkali menjadi alasan mengapa ia harus percaya diri. Dan barulah ketika sidang dimulai, rasa percaya diri itu lama kelamaan agak pudar. Kesalahan dalam penyebutan beberapa nama menyebabkan intonasinya menurun dan kurang jelas mengucapkannya. Para anggota MPR tertawa. Inilah sidang pertama dalam sejarah republik ini yang tidak khidmat dan tidak sakral.
Saya lalu menemukan diskusi mengenai hal itu di forum detik.com. Saya tertawa sendiri membaca komentar-komentar para netter yang memojokkan Taufik Kiemas. Ada perasaan puas di hati saya bahwa terbukti jelas kalau ia tidak cocok menduduki jabatan tersebut, dan orang-orang yang telah memilihnya harus bertanggung-jawab secara moral kepada publik. Kata-kata sindiran hingga kasar yang ada di forum tersebut makin memantapkan hati saya untuk terus menertawakan nasibnya. Gembira, senang, puas, barangkali itulah perasaan saya saat itu.
Hingga akhirnya saya tersadar dan beristighfar. Astaghfirullah! Hati saya ternyata ada penyakit dengki! Masya Allah! Kenapa saya tidak sadar ?!Kenapa saya tertawa melihat orang lain ditertawakan? Kenapa saya merasa senang melihat orang lain dicaci maki? Kenapa saya malah ikut-ikutan mengomentari kesalahannya bersama teman2 kantor? Kenapa saya memperlakukannya seperti memperlakukan seseorang yang pantas dihina? Kenapa saya tidak mendoakan saja ia agar nanti tidak mengulang kesalahan yang sama, daripada ikut mencaci? Bukankah saya sendiri tidak luput dari kesalahan? Bukankah dalam konteks yang lebih sederhana saya pun juga pernah melakukan kealpaan seperti yang ia lakukan? Mengapa saya berpikir saya adalah manusia sempurna sehingga pantas untuk menilai kekurangan orang lain? Apakah di mata Allah saya lebih mulia daripada beliau? Betapa mengerikannya penyakit ini!
Segera saya beristighfar panjang. Percuma saja saya sholat tahajud, bersedekah, naik haji, puasa, tilawah kalau di hati saya ada penyakit dengki. Jelas Rasulullah saw sudah bersabda bahwa penyakit dengki itu membakar amal kebajikan seperti api yang membakar arang! Masya Allah!
Tidak sepantasnya kita menertawakan orang lain, sebab belum tentu kita lebih mulia dalam pandangan Allah SWT dibanding orang yang kita tertawakan itu. Semoga Allah membimbing saya dan kita semua selalu menyucikan hati dari penyakit dengki. Senang melihat orang lain susah, dan susah melihat orang lain senang. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli

Oktober 05, 2009

Maafkan saja!


Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan ana-kanakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS.64:14)


Seorang pemuda yang baru menjadi sarjana mendapat modal dari orang tuanya untuk memulai bisnis apapun yang ia sukai. Karena niat anak muda ini kalau lulus kuliah adalah berbisnis dan tidak mencari kerja, maka ia pun mulai berinvestasi pada orang lain dengan modalnya. Ia menanam uangnya pada usaha jual beli handphone bekas pada temannya dan usaha pembuatan roti yang dikelola oleh sepasang suami-istri di Bandung. Selain itu, dengan sisa uangnya ia pun berinvestasi pada usaha sembako yang dijalankan sebuah UKM. Dan apa yang terjadi selama beberapa bulan kemudian adalah mimpi buruk bagi pemuda yang malang ini. Semua orang yang ia percayai ternyata penipu! Uang investasinya di bisnis handphone bekas dilarikan sampai ke Jawa Tengah, sedangkan suami istri pengusaha roti itu pun kabur dari rumah kontrakannya. Sementara UKM penjual sembako mengalami crash dan kesulitan membayar hutang piutangnya. Total kerugian mencapai kurang lebih 10 juta rupiah (jumlah yang besar bagi pebisnis awam seperti dirinya). Ia benar-benar dendam kepada orang-orang yang sudah menipunya itu. Meski temannya yang menjalankan bisnis handphone itu mengembalikan sebagian modalnya (tentu setelah didesak dan diancam), tetap saja ia kehilangan 6 juta dari dua usaha lainnya. Tidur pun jadi tidak nyenyak. Keluarganya yang tadinya hidup berkecukupan, kini mulai serba kekurangan. Harapannya untuk tidak mencari kerja setelah lulus kuliah pun pudar. Akhirnya ia terpaksa mencari kerja untuk membantu menghidupi keluarganya. Kemarahan pada para penipu itu membuat pemuda ini lupa, bahwa rejeki itu Allah Yang Mengatur. Sekalipun seluruh makhluk berusaha menghalangi rezeki yang hendak Allah berikan pada hambaNya, karuniaNya tetap akan sampai. Inilah yang mungkin menyadari pemuda tersebut.

Lalu, sambil bekerja di perusahaan orang lain, ia berusaha memaafkan penipu-penipu ini dengan mendoakan kebaikan pada mereka. Ia berusaha ikhlas memaafkan kesalahan orang-orang tersebut sambil berharap agar Allah berkenan memberikan hidayah pada mereka. Dan apa yang terjadi? Kurang lebih 1 tahun setelah kejadian itu, keluarganya mendapat rezeki sebesar 107 juta rupiah dari hasil penjualan rumah warisan eyangnya! Padahal sebelumnya, rumah itu sulit sekali dijual karena dikuasai oleh pihak lain. Inilah salah satu bukti bahwa kalau kita mau memaafkan kesalahan orang lain, maka Allah pun akan membukakan pintu rezeki buat kita.

Selain bisa menjadi alat penggugur dosa, sifat pemaaf juga sangat baik terhadap kesehatan fisik. Berikut kutipan dari situs http://hidayatullah.com/rrharunyahya/ramadan_2.html yang menunjukkan
bagaimana sifat pemaaf berpengaruh terhadap jasmani manusia.

Menurut penelitian terakhir, para ilmuwan Amerika membuktikan bahwa mereka yang mampu memaafkan adalah lebih sehat baik jiwa maupun raga. Orang-orang yang diteliti menyatakan bahwa penderitaan mereka berkurang setelah memaafkan orang yang menyakiti mereka. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang yang belajar memaafkan merasa lebih baik, tidak hanya secara batiniyah namun juga jasmaniyah. Sebagai contoh, telah dibuktikan bahwa berdasarkan penelitian, gejala-gejala pada kejiwaan dan tubuh seperti sakit punggung akibat stress [tekanan jiwa], susah tidur dan sakit perut sangatlah berkurang pada orang-orang ini.


Adi W Gunawan, salah seorang ahli hipnotherapy di Indonesia bercerita dalam situsnya www.adiwgunawan.com bahwa ia mempunyai seorang teman yang seolah-olah segala keinginannya begitu mudah tercapai bahkan tanpa harus berdoa mati-matian. Di satu sisi ia pun melihat bahwa banyak orang yang sudah berdoa demikian rutin namun cita-citanya tidak mudah tercapai. Apa yang membuatnya berbeda dalam hal ini? Ternyata temannya ini sudah 10 tahun tidak pernah marah. Dia telah memaafkan orang lain dan berusaha terus memaafkan siapa pun yang telah menyakitinya. Inilah yang menjadi kunci sederhana bila ingin doa kita dikabulkan.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa memaafkan orang lain adalah sehat dan bikin kaya! Wallahu'alam.

Muhammad Zulkifli

Juni 14, 2009

Iman yang Menggerakkan

Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka; dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS. 3:57)
Saat Shubuh tiba, biasanya saya langsung bangun untuk segera bersiap-siap ke masjid di kompleks tempat saya tinggal. Tapi entah kenapa, pada hari Senin itu, meski sudah memasang alarm pukul 4.30 pagi, saya terbangun untuk sekedar mematikan bunyi alarm. Setelah itu saya melanjutkan aktivitas memeluk guling dan memejamkan mata, menunggu sekitar 15 menit yang ‘sangat bernilai’ untuk kembali tertidur. Adzan Shubuh yang berkumandang dari speaker masjid tak membuat kaki saya segera bangun dan melangkah ke masjid yang tidak jauh dari rumah. Saya memilih untuk sholat di rumah saja. Dan akhirnya saya baru sholat sekitar pukul 05.10 pagi. Astaghfirullah.
Iman adalah karunia Allah SWT yang mahal. Begitu banyak orang yang tidak memiliki iman di hatinya. Mereka lebih memilih jadi atheis atau aliran kepercayaan lain dalam menjalankan spiritualitasnya. Tapi kita tidak seperti itu. Kita sholat, puasa, zakat dan sebagainya karena kita tahu bahwa Sang Pemilik Kerajaan langit dan bumi inilah yang memerintahkannya. Hanya saja, dari sekian banyak orang yang beriman, hanya sedikit mereka yang memiliki kualitas iman yang bisa menggerakkan.
Saat saya terbangun karena alarm, iman saya mengatakan bahwa sholat Shubuh berjamaah di masjid sangat diutamakan. Iman saya juga mengingatkan bahwa ciri orang munafik adalah meninggalkan sholat Shubuh dan Isya jamaah di masjid. Ketika saya mendengar adzan, saya pun dengan penuh kesadaran hati menyadari bahwa ini adalah panggilan Allah, panggilan seorang ’Tuan’ terhadap hambaNya. Iman saya juga tahu kalau seandainya saya tahu apa yang akan saya peroleh dengan sholat berjamaah di masjid, pasti saya akan bela-belain datang ke masjid meski harus merangkak. Tapi iman saya hanya sebatas pengetahuan. Iman saya belum sampai pada tahap menggerakkan.
Tidak heran bila dalam banyak ayat Al-Qur’an, kata ’iman’ selalu diiringi ’amal saleh’. Iman tanpa amal saleh tidak akan diterima, sama seperti amal tanpa iman. Iman yang melahirkan amal saleh adalah iman yang menggerakkan. Iman yang tidak membuat pemiliknya beramal adalah iman yang sekarat.
Kita memang belum memiliki iman sekelas Mushab bin Umair, yang imannya menggerakkan ia untuk meninggalkan kemewahan hidup dan bergabung dengan barisan pasukan muslim. Iman kita belum sederajat dengan imannya Barra bin Malik yang menggerakkan ia untuk mau dilempar ke benteng musuh agar pasukan muslim bisa masuk ke dalamnya. Iman kita juga belum selevel dengan imannya Zubair bin Awwam yang tak bergeming meski disiksa pamannya karena masuk Islam. Dan iman kita juga masih kalah dengan imannya Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, Usamah bin Zaid, Zaid bin Arqam, Barra bin Azib, Amr bin Hizam, Usaid bin Zhuhair, Urabah bin Aus, Abu Sa'id al Khudri, Samurah bin Jundub dan Rafi' bin Khadij, yang saat masih anak-anak pun sudah tergerak untuk pergi berjihad dan menangis karena dilarang Rasulullah saw.
Iman kita masih taraf ”ecek-ecek”. Tapi bukan tidak mungkin nanti kualitas keimanan kita bisa setaraf dengan mereka. Untuk mencapai tahap itu, mulailah dari yang kecil-kecil dulu. Khusus buat saya, mungkin bisa dimulai dengan memaksakan diri bangun untuk berangkat ke masjid untuk berjamaah Shubuh, meski kantuk tak tertahankan. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli 

Juni 07, 2009

Berapa kali kita beristighfar?


Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. (QS. An-Nisa:111)
Istighfar berasal dari kata ghofara yang artinya tutup. Bila ditambah alif dan sin, maka maknanya jadi: minta ditutupi. Apa yang harus ditutupi? Dampak dari dosa-dosa yang kita perbuat. Setiap dosa pasti punya akibat, dan untuk menghindari akibat buruknya kita dianjurkan untuk beristighfar. Memohon ampun kepada Allah SWT agar dosa-dosa tersebut tidak berefek negatif dalam kehidupan kita.
Selain menghindari akibat buruk dosa, istighfar juga berdampak positif seperti memperbanyak harta, memperbanyak anak, menurunkan rezeki atau hujan dari langit dan sebagainya. Kisah-kisah Nabi Nuh, Hud, Syu’aib dan lainnya mengajarkan pada kita bahwa memohon ampun kepada Allah adalah bentuk lain dari “ikhitar langit”, yaitu bagaimana menjemput rezeki dan mempermudah terkabulnya hajat setelah “ikhitar dunia” telah dimaksimalkan.
Berapa kali kita harus beristighfar dalam satu hari? Rasulullah saw dalam salah satu hadistnya mengatakan bahwa beliau beristighfar 70 kali per hari. Di hadist lain ada yang menyebutkan 100 kali per hari. Kita anggap saja angka yang paling maksimal, yaitu Rasulullah memohon ampun pada Allah sehari 100 kali.
Bagaimana dengan kita? Nabi Muhammad adalah manusia suci dan yang disucikan oleh Allah. Meski demikian, beliau tetap memohon ampun kepada Allah. Dengan perhitungan seperti ini, kita mencoba melihat diri kita sendiri. Kira-kira, berapa persenkah kualitas iman, kualitas akhlak dan kualitas ibadah kita dari Rasulullah saw? Jika kita ambil angka 50% atau setengah dari kualitas Rasulullah, maka seharusnya kita beristighfar 200 kali perhari. Tapi apa iya kualitas iman, akhlak dan ibadah kita hanya beda setengah dari Rasulullah? Rasanya terlalu sombong. Sholat kita saja jarang khusyu’, sama orang lain masih sering kasar, dan terkadang kita juga suka males berdoa kepada Allah kalau tidak dikabul-kabulkan.
Baiklah, mari kita ambil asumsi bahwa kualitas kita adalah seperempat dari kualitas Rasulullah. Artinya, dalam sehari kita harus beristighfar 400 kali! Sanggup?
Sekali lagi, benarkah kualitas kita hanya berbeda seperempat dari kualitas Rasulullah? Coba ingat-ingat lagi dosa kita. Rasulullah dalam sehari-hari berbicara benar atau diam. Sedangkan kita terlalu banyak bicara dan jarang benarnya. Selain itu, beliau suka bersedekah dan sedekahnya tidak tanggung-tanggung. Sedangkan kita, selalu nanggung dalam bersedekah. Nabi Muhammad kalau marah juga hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan pelecehan akidah. Kalau kita marah selalu berkaitan dengan hal-hal pelecehan pribadi. Kalau sudah begitu, masihkah kita beranggapan bahwa kualitas kita hanya seperempat kualitas Rasulullah?
Jangan-jangan kualitas ibadah, keimanan dan akhlak kita hanya seperdelapannya Rasulullah. Kalau begitu, kita harus beristighfar 800 kali perhari! Atau jangan-jangan hanya sepereenambelas, sepertigapuluh dua, atau seperenampuluhempat! Masya Allah, kita harus beristighfar 6400 kali perhari! Apakah kita sanggup?
Saat ini, saya berusaha konsisten/istiqomah untuk beristighfar 500-1000 kali perhari. Itu juga masih bolong-bolong. Bagaimana dengan Anda?

Muhammad Zulkifli

Untung Kita Dapat Hidayah...


…..tetapi Allah –lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (QS.Al-Baqarah: 272)
Seorang teman yang hobi minum bir menceritakan kisah ini pada saya. Suatu hari, tepatnya pada malam tahun baru, seperti biasa dia merayakannya dengan pesta minuman keras bersama rekan-rekannya sesama kru sebuah stasiun televisi swasta. Teman saya ini memang peminum berat, meski jarang mabuk. Ketika ada acara kantor, dimana stasiun TV tempatnya bekerja diundang untuk meliput, ia selalu berusaha mencari kafe yang menjual minuman keras. Dan itu menjadi kebiasannya sejak dulu.
Ketika ia akan menikmati malam tahun baru 2008, baru saja ia membuka tutup botol vodka miliknya, tiba-tiba ada SMS masuk dari istrinya. Isinya: Ayah, cepat pulang, anak kita sakit. Teman saya ini pun tidak jadi menikmati vodkanya. Segera ia ke rumah sakit untuk melihat kondisi anaknya. Setiba disana, tiba-tiba muncul penyesalan dari hatinya. Kenapa ia bersenang-senang di saat anaknya menderita? Hatinya terenyuh. Sejak saat itu ia berjanji untuk tidak minum minuman keras lagi. Dan ibadahnya kini semakin rutin dan rajin.
Sesederhana itukah seseorang berubah? Iya, mungkin saja! Dan sejak peristiwa itu, tak sekalipun teman saya ini meninggalkan sholat wajib. Padahal dalam 2 tahun terakhir sejak saya bekerjasama dengannya, tidak pernah sekalipun saya melihatnya sholat. Sekarang malah dia yang mengajak teman-temannya untuk sholat. Subhanallah..
Hidayah memang rahasia Allah SWT. Begitu banyak orang yang berteman, bahkan bersahabat dengan orang sholeh, tapi dia tidak ikutan sholeh. Sebaliknya, ada yang berteman dengan pemabuk, malah dapat hidayah. Bersekolah di perguruan tinggi Amerika, gudangnya hedonis, malah keislamannya makin mantap. Bahkan ada juga yang sudah muslim sejak lahir tapi sering mempraktekan perbuatan syirik.
Di Pelabuhan Ratu misalnya, ada upacara tahunan yang bernama Pesta Nelayan. Upacara ini berupa pelepasan sesajen kepala kerbau dan nasi tumpeng yang dipersembahkan kepada Nyi Riri Kidul. Uniknya, pelepasan sesajen ini dilakukan oleh seorang wanita yang didandani dengan kebaya warna hijau, karena Nyi Roro Kidul suka warna itu. Untuk mendapatkan yang cantik biasanya panitia pesta menggelar kontes kecantikan setingkat SMU.
Di Surakarta, Solo, warga rela datang jauh-jauh dan berebut air kencing dan kotoran “Si Bule”. Siapa itu “Si Bule”? Yaitu kerbau bule keturunan kerbau Kyai Slamet yang dianggap punya “keberkahan”. Selain itu, di Wonogiri ada acara jamasan, atau pencucian benda-benda pusaka milik Kasunanan di waduk Gajah Mungkur. Anehnya, air sisa cucian itu diperebutkan banyak orang karena dipercaya mengandung banyak khasiat.
Budaya-budaya di atas dilakukan mayoritas oleh umat Islam yang keimanannya dipertanyakan. Tapi memang hidayah adalah urusan Allah. Karena itulah dalam surah Al-Baqarah di atas Allah SWT sudah mengatakan bahwa hidayah adalah hak preogatifNya. Banyak memang yang rajin ke masjid, tapi yang mabuk juga banyak. Banyak memang laki-laki yang setia pada istrinya, tapi laki-laki yang berselingkuh dan berzina pun tidak sedikit. Banyak memang yang tidak suka mengambil harta orang lain, tapi yang korupsi pun juga banyak.Dunia ini penuh dengan orang-orang yang baik, sebagaimana dunia ini juga penuh dengan orang-orang yang tidak baik.
Karena itulah judul tulisan ini mengajak kita untuk bersyukur. Ya, kita adalah salah satu yang mendapat hidayah Allah untuk selalu menghindari dosa dan perbuatan buruk, serta selalu termotivasi untuk berbuat kebaikan. Sholat kita tidak bermasalah, secara akidah kita tidak terjerumus dalam syirik, tauhid kita murni, maka patutlah kita mengatakan: Untung saya dapat hidayah. Karena itu berarti Allah SWT menganggap kita memang pantas mendapat hidayahNya. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli 

Juni 04, 2009

Demokrasi, bagian dari muammalah?

Dalam sebuah acara Tasqif Dirosah Islamiyah yang dibawakan oleh Ustad Muhammad Arifin di masjid Peruri Karawang, saya mendapat sebuah pemahaman baru mengenai hal-hal yang kontemporer. Menurut beliau, ibadah itu terbagi 2, yaitu ibadah maghdoh dan ghoiru maghdoh. Ibadah maghdoh adalah semua ibadah yang hukumnya haram sampai ada ayat yang memerintahkannya. Contohnya sholat, puasa, haji dan sebagainya. Jika tidak ada dalil yang memerintahkan kita untuk mengerjakannya, maka status ibadah yang kita lakukan itu adalah haram. Sebaliknya, ibadah ghoiru-maghdoh atau muamalah adalah semua kegiatan yang diperbolehkan sampai ada dalil yang melarangnya.
Seseorang bertanya kepada Pak Ustad, partai dan demokrasi adalah sesuatu yang tidak ada di zaman Rasulullah, oleh karena itu dikategorikan bid’ah. Bahkan haram! Lalu mengapa Pak Ustad terlibat dalam salah satu partai politik Islam?
Pak Ustad balik menjelaskan, bahwa jangankan partai, bahkan pesantren, bank syariah, organisasi seperti NU dan Muhammadiyah pun tidak ada di zaman Nabi. Kalau begitu, semuanya haram dong?
Tidak ada satu pun dalil, menurut Pak Ustad, yang melarang pembentukan partai. Dan tidak ada satu pun ayat dan hadist yang menjelaskan bahwa demokrasi itu haram. Jadi partai dan demokrasi hukumnya mubah. Tapi bukankah demokrasi, menurut si penanya tadi, adalah sistem jahiliyah?
Dalam sepenggal siroh Rasulullah saw, ketika beliau dan Zaid bin Haritsah diusir dari Thoif, beliau punya rencana untuk balik lagi ke Makkah dan kembali berdakwah. Namun hal tersebut mustahil karena penduduk Makkah sudah sepakat mengusir mereka. Lalu Rasulullah pun teringat bahwa di Makkah ada undang-undang atau kesepakatan bersama antara kabilah-kabilah, bahwa bila ada yang minta perlindungan pada salah satu kabilah, maka kabilah lain wajib juga melindunginya. Lalu beliau meminta Zaid bin Haritsah untuk datang ke Makkah malam-malam dan mulai melobi pemimpin kabilah untuk minta perlindungan. Dan akhirnya Mut’am bin Ali, salah satu pemimpin dari kabilah di Makkah setuju untuk melindungi Muhammad dan Zaid. Akhirnya Rasulullah kembali ke Makkah dan berdakwah serta dilindungi oleh kabilahnya Mut’am bin Ali.
Dari kisah di atas, ternyata Rasulullah saw memanfaatkan hukum/peraturan jahiliyah untuk kepentingan dakwah. Demokrasi adalah bagian dari muamalah. Bila demokrasi itu jahiliyah, mengapa tidak kita manfaatkan saja untuk kepentingam dakwah? Ketimbang membiarkan orang-orang yang tidak punya komitmen dakwah yang memimpin negeri ini, lebih baik negara ini dikendalikan oleh tangan-tangan yang sering basah oleh air wudhu.
Inilah sepotong ilmu yang saya dapatkan dari pengajian Ahad lalu. Sangat menarik buat saya yang memang buta politik. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli