Januari 08, 2008

Belajar Butuh pada Allah

Allah SWT Maha Kaya. Pernyataan ini tentu sudah tidak perlu diragukan lagi bagi orang yang mengaku dirinya beriman. Kekayaan Allah tidak saja sebatas Pemilik Mutlak atas apa yang kita miliki, tetangga miliki, pejabat miliki,dan pengusaha miliki saja. Perbendaharaan Allah juga tidak hanya sampai di tingkat kelurahan, tingkat provinsi maupun tingkat negara. Bahkan apa yang diakui sebagai aset-aset milik Istana Negara seperti gedung, perabotan, uang kas dan lainnya secara hakekat ada dalam genggaman kekuasaan Allah. Dia bisa mencabut semua itu dari pemilik sementaranya dan mengalihkan ke pemiliknya yang baru. Sudah berkali-kali ganti presiden, dan Istana Negara pun tetap tidak bisa dimiliki secara pribadi. Harta pribadi pun bisa dicabut oleh Allah. Hanya butuh 57 detik untuk menghilangkan harta benda warga Jogkakarta dengan mengirimkan gempa. Tidak perlu berjam-jam untuk ‘menenggelamkan’ aset-aset miliaran dolar yang ada di kapal pesiar Titanic. Pun untuk mengubah standart hidup seorang penguasa yang terbiasa hidup bergelimang harta menjadi turun drastis pun tidak butuh waktu yang lama, sebagaimana terjadi pada mantan presiden Irak Saddam Hussein, Ferdinand Marcos, atau lainnya. Kalau sudah begitu, lantas mengapa seseorang tidak berusaha dekat kepada Pemilik Mutlaknya?

Kepemillikan Allah pun tidak terhenti hanya sebatas bumi saja. Bahkan langit dan segala isinya mutlak dikuasai dan dimiliki oleh Allah. Tidak ada semilimeter pun apa yang ada di langit dan di bumi tidak dimiliki Allah. Uang yang kita pegang, kendaraan yang kita bawa, istri/suami yang menemani kita, perusahaan tempat kita bekerja, bisnis kita, semuanya adalah milik Allah. Bukan milik kita, bukan pula milik kerabat atau atasan kita. Status kita dan mereka adalah sebatas peminjam saja.

Coba kita analogikan seperti ini. Seandainya kita punya kesempatan untuk menjalin keakraban di kantor, kira-kira kepada siapa kita akan lebih banyak menghabiskan waktu buat bergaul? Apakah dengan office boy, manajer, rekan sekerja, direktur, komisaris atau pemilik perusahaan? Bagi yang ingin meniti karir dan meraih kesuksesan di kantor, atau ingin gajinya dinaikkan, tentu kita akan menjalin keakraban dengan pemilik perusahaan. Sebab di tangannya lah segala keputusan lahir. Jika manajer mau memecat kita, tapi pemiliknya masih senang terhadap kita, otomatis kita pun akan tetap bekerja di tempat itu. Sebaliknya, jika pemilik perusahaan sudah benci pada kita, maka sebagus apa pun prestasi kerja tetap tidak akan mempengaruhi keputusannya buat memecat kita. Jika dirunut, maka kebutuhan kita untuk bisa berteman akrab dengan pemilik perusahaan jauh lebih besar daripada kebutuhan kita untuk berteman dengan manajer.

Seperti itulah seharusnya pola pikir kita. Kebutuhan kita terhadap pertolongan Allah haruslah jauh lebih besar daripada kebutuhan kita terhadap uang, jabatan, pekerjaan, istri atau lainnya. Apa susahnya jika Pemilik Kerajaan langit dan bumi ini sudah menolong kita sekalipun kita tidak punya uang, tidak punya kerabat dekat, atau tidak punya pekerjaan? Harusnya kita lebih takut kehilangan Allah daripada kehilangan lainnya. Misalnya, kalau kita butuh pekerjaan, tentu kita akan berusaha bekerja lebih baik agar tidak kehilangan mata pencaharian. Kalau kita butuh kendaraan yang selama ini dipakai, tentu kita berusaha menjaganya agar tidak sampai dicolong maling. Dan kalau kita butuh sama Allah, tentu saja kita harus menjaga hubungan dengan Allah agar Dia tidak meninggalkan kita. Sebab jika Allah sudah meninggalkan kita, lalu kepada siapa kita akan minta pertolongan?

Mari kita berdoa pada Allah, agar Dia menumbuhkan rasa butuh di hati kita kepadaNya melebihi kebutuhan kita terhadap apapun selain Dirinya. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli

Tidak ada komentar: