November 17, 2009

Utamakan Akhlak dibanding Fikih


Alhamdulillah, di tahun 2002 saya dan kedua orang tua mendapat rezeki dari Allah SWT untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Suka duka dan sepenggal hikmah telah saya dapatkan selama 40 hari di sana, dan khusus menyambut Idul Adha saya akan menulis tentang apa dan bagaimana proses saya selama menjalani ibadah. Insya Allah bukan untuk riya atau pamer, tapi sekedar berbagi ilmu dan berbagi solusi.

Sekitar enam bulan sebelum berangkat, saya dan jamaah lainnya ikut dalam pelatihan manasik haji yang diselenggarakan oleh Departemen Agama Kanwil Bandung. Setiap hari Ahad kami datang untuk belajar dan menghafal doa. Di situ juga ketua rombongan dan ketua regu disusun agar mempermudah koordinasi nantinya di sana. Saya sendiri terpilih sebagai ketua regu dari rombongan 4 Kloter 6.

Sebenarnya tidak ada yang keliru dari proses manasik ini. Kami diberi buku panduan, diajarkan cara melafadkan doa-doa, diceritakan tentang kondisi di sana, dan apa saja yang harus dipersiapkan. Berminggu-minggu kami dijejali ilmu tentang ”apa yang harus kami baca ketika melakukan apa”. Istilahnya, fokus kami adalah bagaimana rukun haji dan doa-doanya sudah kami hafal ketika sampai di sana nanti.

Sejujurnya karena itu pengalaman pertama, saya belum melihat ada sesuatu yang perlu dibenahi dari pelatihan ini. Namun saya baru menyadari apa yang belum ada dalam penyelenggaraan manasik ini ketika sudah berada di sana. Inilah inti pokok kenapa banyak jamaah haji yang pulang dari tanah suci prilaku dan perbuatan buruknya tidak berubah.

Bermula ketika seorang Ustadz (yang ditunjuk oleh Depag sebagai pembimbing rohani jamaah Kloter saya) membagi-bagikan makan siang di maktab. Wajahnya yang tidak ramah dan merengut (mungkin karena capek) berkata ketus kepada seorang jamaah yang jauh lebih tua darinya ketika jamaah tersebut bertanya dengan sopan: boleh ga kalau makanan ini diambil setelah selesai sholat. Dengan ketus ia berkata,” Tidak! Tidak bisa!”. Jamaah tersebut itupun berlalu tanpa berminat mau mengambil jatah makannya, terlanjur kesal dengan jawaban si Ustadz.

Di kamar maktab, seorang ibu-ibu mengungsi ke kamar kami karena teman satu kamarnya masak di dalam kamar sehingga asapnya mengganggu pernafasan dia. Di Padang Arafah, yang seharusnya dijadikan tempat merenung dan bertafakur, malah oleh sebagian jamaah ibu-ibu dijadikan tempat untuk menggunjingi temannya yang lain. Di Muzdalifah, gantian bapak-bapaknya yang menggunjingi ketua rombongan karena tidak puas dengan kepemimpinan beliau.

Pulang dari ibadah haji, uang urunan para jamaah yang masih tersisa banyak tidak dikembalikan oleh ketua rombongan dan bendahara. Alasannya mau dipakai untuk acara-acara kebersamaan. Namun hingga tiga tahun sejak 2002,  uang itu pun tidak dikembalikan oleh ketua dan bendahara kami. Salah satu jamaah menagih terus menerus karena ia lagi membutuhkan uang, dan akhirnya dikembalikan dalam keadaan tidak utuh.

Apa masalah dari semua ini? Aklak! Ini yang tidak diajarkan dalam manasik haji yang kami ikuti. Manasik itu hanya fokus pada masalah fiqh, tata cara, rukun, dan hal teknis lainnya. Bukannya tidak penting, namun jika tidak diimbangi dengan pembelajaran dan persiapan akhlak, maka semua ibadah itu akan terasa kering. Apakah kita merasa bahagia ketika mulut ini mampu mencium Hajar Aswad, tetapi mulut ini juga suka menebar aib orang lain? Apakah kita merasa sudah mabrur, ketika tangan ini sering memegang Raudhoh, tapi tangan ini juga yang menahan hak orang lain? Apakah ibadah kita diterima, ketika masih banyak orang yang merasa dirugikan oleh perbuatan tangan dan lisan kita?

Ibadah haji adalah ibadah akhlak, bukan sekedar ibadah fikih. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli

Tidak ada komentar: