November 04, 2009

Dai Bis Kota



Sesungguhnya Allah memiliki karunia kepada manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur. (QS.Al-Baqarah:243)

Pengamen yang saya lihat di bis patas AC jurusan Cikarang ini memang terlihat sedikit berbeda. Bukan secara fisik melainkan perilakunya. Setelah membawa beberapa lagu, tiba-tiba saja dia mendekati salah seorang perempuan muda dan menyanyikan lagu cinta dengan suara yang rendah, sambil menundukkan kepalanya mendekati wajah wanita itu. Penumpang tersebut tidak merespon, hanya duduk diam terpaku. Barangkali malu. Tapi si pengamen bukannya menghentikan aksi “norak”nya itu, malah semakin mendayu-dayu bernyanyi dan mendekati bibirnya ke wajah wanita itu. Lagu itu khusus ditujukan kepadanya. Entah apa alasan yang membuat dia berbuat seperti itu.

Setelah satu lagu selesai, kembali dia menghadap ke “hadirin” para penumpang bus dan mulai nyanyi dengan suara normal lagi. Entah disengaja atau tidak, gitarnya mengenai bahu wanita lain di sisi kirinya. Wanita tersebut protes, dan pengamen tersebut meminta maaf. Namun mungkin karena wanita itu sudah tidak simpati gara-gara aksi norak sebelumnya, ia malah ngedumel. Si pengamen masih berusaha minta maaf dan menjelaskan kalau ia tidak sengaja, namun wanita tersebut masih terus berbicara. Puncaknya, ia memaki wanita itu dengan satu kata kasar yang tak pantas saya sebut di sini. Sebuah kata yang merepresentasikan ke sosok ”wanita nakal”. Setelah itu bis jadi hening sambil tetap melaju di tol dalam kota.

”Orang seperti saya memang tidak pernah diharapkan,” ia memulai berorasi. “Saya yatim piatu sejak kecil, tidak makan sekolahan, tidak punya ijazah dan tidak punya pekerjaan. Saya akan turun dari bis ini, tapi tolong anda semua berikan saya pekerjaan.” Ia berjalan depan belakang sambil menengadahkan tangan, simbol meminta pekerjaan.

Saya mulai merenung. Logikanya masuk akal, meski validasi statemennya perlu dipertanyakan.

”Lihat baik-baik muka saya! Hafalkan! Nama saya Hari! Saya mangkal di Komdak. Kalau bapak ibu mau mencari saya silahkan cari disana!” tantangnya.

”Saya bersyukur bisa belajar main gitar, bisa mengamen. Ini adalah bentuk rasa syukur yang saya miliki. Sekarang, apa rasa syukur anda ketika melihat orang-orang seperti saya?”

Glek! Saya rasa saya tidak perlu mencari tahu lagi apakah ia benar-benar anak yatim, tidak pernah sekolah dan tidak punya ijazah. Kalau pun dia kenyataannya bukan anak yatim dan pernah sekolah, tapi kalimat terakhirnya benar-benar menyentak hati kecil saya dan mungkin orang-orang di bis itu. Betapa kita sering mengeluh tentang keadaan diri kita, ketika tidak punya uang, tekanan pekerjaan, sulitnya mendapat jodoh, banyak hutang, dikejar-kejar orang, dan lainnya. Padahal nasib kita jauuuuuh lebih baik dari pada orang-orang seperti pengamen ini. Betapa mereka harus bertahan hidup dengan bersempit-sempit menyanyi di bis kota, berjualan asongan, baca puisi di tengah berisiknya suara deru lalu lintas, berdangdut ria sambil bawa speaker dan mic, padahal hasil tidak seberapa. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang melakukan semua itu dalam keadaan lapar dan haus!

Tiba-tiba saya ingat salah seorang kenalan, bapak-bapak tua penjual koran di depan halte busway Komdak. Ketika saya tanya jam kerjanya, beliau menjawab, ”Jam 4 subuh saya sudah berdagang, dan baru pulang jam 10 malam.” Masya Allah! Dia sudah kerja ketika saya belum bangun, dan masih kerja ketika saya sudah tidur! Berapa penghasilannya? Jangan tanya. Sebab kalau penghasilannya besar, tentu ia tidak tidur di rumah papan yang berada di dalam pagar pembatas di depan mal Pasific Place.

Rasa syukur sudah hilang dalam diri kita, hanya karena Allah menguji kita dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan (QS.2:155). Seolah Allah tidak pernah memberikan apapun kepada kita sehingga kita merasa berhak untuk mengeluh.

Hari, si Pengamen itu sejatinya adalah dai dalam konteks ini. Dia menggugat rasa syukur yang telah hilang pada diri kami. Dan ’tausiyah’ nya sungguh kena. Setidaknya pada diri saya. Wallahu’alam.

Sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahaan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir (QS.79:19-21)

Muhammad Zulkifli

Tidak ada komentar: