November 23, 2009

Pengemis = Preman?

Diriwayatkan dari az-Zubair bin al-‘Awwâm Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ.

"Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, mereka memberinya atau tidak memberinya".

Sudah menjadi kebiasaan di Indonesia, ketika bulan Ramadhan tiba jalan-jalan penuh dengan peminta-minta. Mulai dari anak-anak, ibu-ibu muda yang gendong bayi, nenek-nenek, bapak-bapak yang renta, sampai mereka yang cacat fisiknya. Entah siapa yang mengkoordinir, tiba-tiba mereka muncul di tengah-tengah kita, tersebar di berbagai titik dan berkumpul di dekat masjid serta lampu merah.

Saya tidak menyangka juga kalau ternyata budaya mengemis ini ’diimport’ oleh masyarakat Arab Saudi dari kita. Menjelang musim haji begitu banyak pengemis berkeliaran di sekitar masjid Nabawi dan Makkah. Pengemis di Makkah lebih banyak daripada di Madinah. Sepanjang jalan saya menuju Masjidil Haram dari maktab, berbagai ”jenis” pengemis tampil di sana, mulai dari yang tidak punya kaki, tidak punya tangan, tidak punya kaki dan tangan, dan ada juga yang lengkap anggota tubuhnya tapi mengejar-ngejar jamaah untuk minta duit. Selain itu, kalau pengemis Indonesia ’malu-malu’ menunjukan uang yang ia dapatkan dari hasil ”kerjanya”, tapi pengemis di sana justru memamerkan tumpukan uang hasil pemberian jamaah yang ’kasihan’ padanya dengan terang-terangan. Dan uniknya lagi, kalau pengemis Indonesia menerima uang dengan sikap pasif, tapi kalau pengemis sana justru secara agresif merebut uang dari tangan jamaah yang mau memberi.

Pengemis di sana barangkali tahu kalau doktrin yang disuntikan kepada jamaah haji, khususnya dari Indonesia, adalah bila menemukan tukang minta-minta berikan sebagian uangmu. Doktrin ini sama seperti kalau bulan Ramadhan harus banyak-banyak bersedekah. Ini tidak salah, tapi sangat berlebihan. Budaya memberi tanpa pandang bulu ini ternyata menimbulkan sifat pemalas dan mental peminta di kalangan umat Islam. Sebab banyak dari masyarakat kita yang marginal secara sosial tapi mampu bertahan hidup dengan bekerja tanpa harus menjadi pengemis. Perhatikanlah secara seksama, banyak para pemulung yang ternyata sudah berumur sangat tua. Mereka memilih cara bertahan hidup dengan cara memulung, bukan mengemis. Lihat juga tukang sapu di jalalan, ternyata tidak sedikit yang wanita tua, yang seharusnya di umur seperti itu sudah bisa menikmati hidup dan bermain dengan cucu. Sekali-kali juga pandanglah tukang koran di lampu merah, selain anak kecil atau remaja, ternyata ada juga kakek-kakek di antara mereka. Semua ini menunjukkan bahwa mengemis itu adalah budaya, dan bukan karena dampak akibat ketidakadilan sosial.

Ketika saya sedang berada di Singapura, saya menemukan hal menarik lainnya berkaitan dengan mengemis. Ternyata di sana banyak orang tua yang sudah sangat sepuh bekerja di tempat-tempat yang ”kurang layak” untuk orang seumuran mereka, misalnya sebagai penjaga toilet umum, sopir taksi, pelayan restoran, bahkan cleaning service di mal. Pemerintahnya (dan mungkin juga rakyatnya) telah berhasil membangun mental kemandirian, bahwa umur dan kekurangan tidak bisa dijadikan alasan untuk menjadi tukang minta-minta.

Umat Islam perlu membangun mental kemandirian ini, karena Rasulullah saw sudah mewanti-wantinya 1400 tahun yang lalu. Sebab mental meminta itu bisa bergeser menjadi mental pemalak. Seperti pengalaman saya ketika dikejar lima orang pengemis gara-gara saya memberi salah satu dari mereka uang sebesar 1 Real, dan teman-temannya mengejar saya untuk ”minta jatah” yang sama. Saya baru ”selamat” dari pengejaran ini setelah masuk ke wartel, dan kelima pengemis itu diusir oleh pemilik wartel. Ternyata di Tanah Suci, perbedaan antara pengemis dan preman di sana sedemikian tipis. Hanya mungkin profesi preman di sana tidak pernah mendapat ”status” dari masyarakat. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli

Tidak ada komentar: