Oktober 21, 2009

Mengapa Harus Dengki?

Bila kamu memperoleh kebaikan, maka hal itu menyedihkan mereka, dan kalau kamu ditimpa kesusahan maka mereka girang karenanya.” (QS. Ali Imran: 120)
Saya hanya tersenyum geli dan merasa senang melihat Taufik Kiemas memimpin sidang MPR kemarin. Pendapat bahwa sidang kemarin sangat lucu dan memalukan, saya setuju sekali. Baru kali ini dalam sejarah bangsa Indonesia, sidang yang dihadiri para pejabat, mantan pejabat serta tamu negara sahabat terlihat unik dan menggelitik. Betapa kualitas seseorang itu terlihat jelas ketika ia mendapat sebuah jabatan, apalagi kalau sebelumnya jabatan itu dia yang minta. Ketika akhirnya dia tidak bisa mengemban amanat tersebut, masyarakat langsung menilai apatis, bahkan menertawakan.
Sebelum masuk ke ruang sidang, seperti yang diberitakan detik.com, Taufik Kiemas tampak penuh percaya diri. Jabatan bergengsi yang ia sandang barangkali menjadi alasan mengapa ia harus percaya diri. Dan barulah ketika sidang dimulai, rasa percaya diri itu lama kelamaan agak pudar. Kesalahan dalam penyebutan beberapa nama menyebabkan intonasinya menurun dan kurang jelas mengucapkannya. Para anggota MPR tertawa. Inilah sidang pertama dalam sejarah republik ini yang tidak khidmat dan tidak sakral.
Saya lalu menemukan diskusi mengenai hal itu di forum detik.com. Saya tertawa sendiri membaca komentar-komentar para netter yang memojokkan Taufik Kiemas. Ada perasaan puas di hati saya bahwa terbukti jelas kalau ia tidak cocok menduduki jabatan tersebut, dan orang-orang yang telah memilihnya harus bertanggung-jawab secara moral kepada publik. Kata-kata sindiran hingga kasar yang ada di forum tersebut makin memantapkan hati saya untuk terus menertawakan nasibnya. Gembira, senang, puas, barangkali itulah perasaan saya saat itu.
Hingga akhirnya saya tersadar dan beristighfar. Astaghfirullah! Hati saya ternyata ada penyakit dengki! Masya Allah! Kenapa saya tidak sadar ?!Kenapa saya tertawa melihat orang lain ditertawakan? Kenapa saya merasa senang melihat orang lain dicaci maki? Kenapa saya malah ikut-ikutan mengomentari kesalahannya bersama teman2 kantor? Kenapa saya memperlakukannya seperti memperlakukan seseorang yang pantas dihina? Kenapa saya tidak mendoakan saja ia agar nanti tidak mengulang kesalahan yang sama, daripada ikut mencaci? Bukankah saya sendiri tidak luput dari kesalahan? Bukankah dalam konteks yang lebih sederhana saya pun juga pernah melakukan kealpaan seperti yang ia lakukan? Mengapa saya berpikir saya adalah manusia sempurna sehingga pantas untuk menilai kekurangan orang lain? Apakah di mata Allah saya lebih mulia daripada beliau? Betapa mengerikannya penyakit ini!
Segera saya beristighfar panjang. Percuma saja saya sholat tahajud, bersedekah, naik haji, puasa, tilawah kalau di hati saya ada penyakit dengki. Jelas Rasulullah saw sudah bersabda bahwa penyakit dengki itu membakar amal kebajikan seperti api yang membakar arang! Masya Allah!
Tidak sepantasnya kita menertawakan orang lain, sebab belum tentu kita lebih mulia dalam pandangan Allah SWT dibanding orang yang kita tertawakan itu. Semoga Allah membimbing saya dan kita semua selalu menyucikan hati dari penyakit dengki. Senang melihat orang lain susah, dan susah melihat orang lain senang. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli

Tidak ada komentar: