Juni 04, 2009

Demokrasi, bagian dari muammalah?

Dalam sebuah acara Tasqif Dirosah Islamiyah yang dibawakan oleh Ustad Muhammad Arifin di masjid Peruri Karawang, saya mendapat sebuah pemahaman baru mengenai hal-hal yang kontemporer. Menurut beliau, ibadah itu terbagi 2, yaitu ibadah maghdoh dan ghoiru maghdoh. Ibadah maghdoh adalah semua ibadah yang hukumnya haram sampai ada ayat yang memerintahkannya. Contohnya sholat, puasa, haji dan sebagainya. Jika tidak ada dalil yang memerintahkan kita untuk mengerjakannya, maka status ibadah yang kita lakukan itu adalah haram. Sebaliknya, ibadah ghoiru-maghdoh atau muamalah adalah semua kegiatan yang diperbolehkan sampai ada dalil yang melarangnya.
Seseorang bertanya kepada Pak Ustad, partai dan demokrasi adalah sesuatu yang tidak ada di zaman Rasulullah, oleh karena itu dikategorikan bid’ah. Bahkan haram! Lalu mengapa Pak Ustad terlibat dalam salah satu partai politik Islam?
Pak Ustad balik menjelaskan, bahwa jangankan partai, bahkan pesantren, bank syariah, organisasi seperti NU dan Muhammadiyah pun tidak ada di zaman Nabi. Kalau begitu, semuanya haram dong?
Tidak ada satu pun dalil, menurut Pak Ustad, yang melarang pembentukan partai. Dan tidak ada satu pun ayat dan hadist yang menjelaskan bahwa demokrasi itu haram. Jadi partai dan demokrasi hukumnya mubah. Tapi bukankah demokrasi, menurut si penanya tadi, adalah sistem jahiliyah?
Dalam sepenggal siroh Rasulullah saw, ketika beliau dan Zaid bin Haritsah diusir dari Thoif, beliau punya rencana untuk balik lagi ke Makkah dan kembali berdakwah. Namun hal tersebut mustahil karena penduduk Makkah sudah sepakat mengusir mereka. Lalu Rasulullah pun teringat bahwa di Makkah ada undang-undang atau kesepakatan bersama antara kabilah-kabilah, bahwa bila ada yang minta perlindungan pada salah satu kabilah, maka kabilah lain wajib juga melindunginya. Lalu beliau meminta Zaid bin Haritsah untuk datang ke Makkah malam-malam dan mulai melobi pemimpin kabilah untuk minta perlindungan. Dan akhirnya Mut’am bin Ali, salah satu pemimpin dari kabilah di Makkah setuju untuk melindungi Muhammad dan Zaid. Akhirnya Rasulullah kembali ke Makkah dan berdakwah serta dilindungi oleh kabilahnya Mut’am bin Ali.
Dari kisah di atas, ternyata Rasulullah saw memanfaatkan hukum/peraturan jahiliyah untuk kepentingan dakwah. Demokrasi adalah bagian dari muamalah. Bila demokrasi itu jahiliyah, mengapa tidak kita manfaatkan saja untuk kepentingam dakwah? Ketimbang membiarkan orang-orang yang tidak punya komitmen dakwah yang memimpin negeri ini, lebih baik negara ini dikendalikan oleh tangan-tangan yang sering basah oleh air wudhu.
Inilah sepotong ilmu yang saya dapatkan dari pengajian Ahad lalu. Sangat menarik buat saya yang memang buta politik. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli

1 komentar:

insidewinme mengatakan...

Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu