Oktober 29, 2009

’Jalan lain’ keluar dari kemiskinan

Namun apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, “Tuhanku telah menghinaku.” Sekali-kali tidak! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, sedangkan kamu memakan harta warisan dengan cara mencampurbaurkan, dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan (QS.89: 16-20)
Seringkali seseorang ketika dihimpit kesempitan rezeki, banyak hutang dan banyak tuntutan kebutuhan yang mendesak, menganggap ibadahnya sudah maksimal sehingga berhak mendapatkan pertolongan Allah. Sholat sudah tepat waktu, dhuha didawamkan, sedekah rutin, bahkan sampai puasa Senin-Kamis segala. Namun ketika ia mendapati dirinya masih diselimuti kesempitan ekonomi, hutang yang bukannya berkurang tapi malah nambah, serta kesulitan dalam mencari rezeki tambahan, cenderung mulai meragukan kekuasaan dan inayah dari Allah SWT. Muncullah prasangka-prasangka negatif terhadap Allah, seperti Allah tidak peduli kepadanya, Allah tidak menepati janjiNya, Allah tidak mau menolongnya, dan yang lebih parah lagi kalau ia sampai menganggap bahwa Allah telah menghinanya!
Kehidupan ini berputar, kadang banyak uang, tak jarang banyak hutang. Kadang lapang, kadang sempit. Kadang mengejar-ngejar orang yang punya hutang, kadang juga dikejar-kejar orang yang berpiutang. Seandainya hidup kita lapang terus, barangkali kita tidak pernah merasakan kepasrahan total kepada Allah, dan mungkin kita terlena oleh keberlimpahan itu sendiri. Dan sebaliknya, kalau hidup terus menerus sempit, bisa jadi lama-lama akan mengganggu konsentrasi ibadah kita, dan produktivitas yang seharusnya bisa diarahakan untuk perbaikan umat malah habis untuk memikirkan bagaimana menyambung hidup esok hari. Begitulah sunatullah yang berlaku, sehingga Allah melapangkan rezeki dan menyempitkan rezeki kita di lain waktu, agar kondisi apapun yang kita terima bisa mempertahankan, bahkan meningkatkan kualitas keimanan kepada Allah.
Bagi yang sedang sempit rezekinya, ada baiknya merenungi surat Al-Fajr di atas. Ternyata ada alasan lain kenapa Allah SWT tetap ‘awet’ mempertahankan kondisi kita yang serba kekurangan. Sedikitnya ada empat alasan yang membuat kita tetap ’setia’ dengan kemelaratan. Yang pertama adalah karena kita tidak memuliakan anak yatim. Sungguh berat memuliakan anak yatim ini. Caranya bukan sekedar bersedekah rutin tiap bulan untuk kehidupannya, tapi juga memperlakukan mereka sama seperti memperlakukan anaknya sendiri. Anak yatim secara psikologis jelas berbeda dengan anak yang masih memiliki orang tua yang lengkap. Prasyarat memelihara anak yatim pun tidak enteng, sebagai contoh kita dilarang menghardik, membentak, dan berprilaku kasar. Ada seorang ibu-ibu yang mengasuh anak yatim di rumahnya, seringkali ia harus ”makan ati” dengan prilaku mereka, baik itu hobinya yang suka pergi tanpa pamit, suka berbohong, tidak mampu mengemban tanggung jawab sekecil apapun, padahal beliau sudah berusaha memperlakukan anak tersebut setara dengan anak kandungya, baik secara materi maupun psikologis. Ibu ini takut memarahi anak asuhannya itu, sebab agama melarangnya. Dan inilah tantangan terberat dari memuliakan anak yatim. Bila saat ini kita sedang memelihara anak yatim di rumah, silahkan intropeksi diri. Barangkali terlalu banyak prilaku kasar kita kepada mereka sehingga inilah yang menyebabkan rezeki kita masih terbatas dan sempit.
Yang kedua adalah tidak saling mengajak untuk memberi makan orang miskin. Seringkali orang yang mengalami kesempitan rezeki mencoba bersedekah sebagai jalan keluar dari permasalahnnya. Ini sangat bagus sekali. Dan lebih bagus lagi kalau ia juga mengajak orang lain untuk bersedekah. Bersedekah secara jamaah, barangkali itu kalimat yang paling tepat. Kalau kita hobi menyumbangkan uang kita per bulan ke yayasan zakat, mengapa kita tidak mengajak juga orang lain untuk ikut berpartisipasi? Banyaknya bencana alam yang menyebabkan angka kemiskinan bertambah juga merupakan sarana kita untuk mengajak orang lain beramal, khususnya memberi makan orang miskin. Jika kita hanya menikmati aktivitas bersedekah dan beramal sendirian saja, jangan salahkan Allah SWT kalau rezeki kita masih seret.
Ketiga adalah memakan harta warisan dengan mencampurbaurkan. Kalau kita berasal dari keluarga yang kaya raya, kemudian orang tua mewariskan harta tersebut pada kita dan harus dibagi rata dengan saudara-saudara yang lain, maka kita harus segera meng-screening warisan kita, benarkah tidak ada hak orang lain yang ada di situ? Jika ada, lebih baik segera kita kembalikan agar harta tersebut tidak menghalangi rezeki kita.
Terakhir adalah kita terlalu mencintai harta secara berlebihan. Barangkali sebelumnya kita pernah punya mobil mewah dan gara-gara mobil itu kita jarang sholat di masjid karena takut digores orang. Atau kita pernah punya Blackberry yang membuat kita lalai dari sholat tepat waktu. Bisa jadi juga kita pernah memiliki perusahaan yang sudah cukup menghasilkan namun bisnis tersebut malah menjauhi kita dari sholat berjamaah. Penyakit cinta dunia adalah penyakit kronis yang sangat mempengaruhi deras atau keringnya aliran rezeki kita.
Keempat hal ini adalah merupakan ’jalan lain’ buat kita untuk meraih kelapangan rezeki. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli

Oktober 28, 2009

Bencana Alam dan Nahyi Mungkar

Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa. (QS. Hud: 116)
Bangsa kita sudah akrab dengan bencana. Mulai dari gunung meletus, gempa bumi, banjir besar, tsunami, kebakaran hutan atau bahkan kedatangan Miyabi! Bencana alam yang menimpa negeri kita saat ini disikapi dengan beragam pendapat. Yang paling umum adalah bencana ini dianggap sebagai teguran dari Allah SWT terhadap makluk2nya yang lalai.
Mengapa kita selalu dirudung bencana? Prasyarat apa yang harus dipenuhi suatu kaum/bangsa agar bencana itu datang menghampiri? Benarkah bencana itu datang karena di suatu negeri itu terdapat banyak golongan yang ingkar, dan tidak ada satu pun orang yang ”baik-baik” ?
Sebenarnya negeri ini ditimpa bencana bukan karena tidak adanya orang-orang yang sholeh, melainkan karena banyaknya orang-orang sholeh yang memiliki kelebihan/keutamaan tetapi tidak ada yang mencegah kemungkaran. Inilah penyebab yang bisa kita lihat dari ayat di atas.
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang-orang yang diselamatkan Allah adalah mereka yang memiliki keutamaan dan mencegah kemungkaran masyarakatnya. Dan jumlahnya sangat sedikit. Makanya Allah bertanya: mengapa tidak ada?
Jika seseorang yang memiliki keutamaan, baik itu kekuasaan, ilmu, pengaruh sosial, intelektual yang tinggi, kekuatan fisik yang tangguh, tidak mampu mencegah suatu kemungkaran yang ada di depan matanya, sementara sebenarnya ia mampu, maka prasyarat turunnya bencana sudah terpenuhi. Tidak heran bila kita ingin mempengaruhi seseorang atau mencegah kemungkaran maka kita harus memiliki keutamaan. Seorang pelajar yang sholeh yang pernah menjuarai Olimpiade Sains tingkat nasional, ketika menasehati temannya yang tidak pernah sholat tentu lebih masuk ketimbang kalau pelajar tersebut tidak punya prestasi apa-apa. Seorang Gubernur atau kepala daerah tentu mempunyai kekuasaan untuk menutup tempat-tempat prostitusi ketimbang aktivis dakwah yang tidak memiliki jabatan apapun di pemerintahan. Seorang ahli beladiri yang berhasil menaklukkan penjahat dan menasehatinya untuk bertaubat lebih ”kena” ketimbang korban kejahatan yang menasehati perampoknya.
Dari surah Hud (11) terdapat banyak sekali hikmah tentang mengapa kaum para Nabiyullah menolak dakwah utusan Allah tersebut. Misalnya kaum Nabi Nuh yang menolak dakwah beliau karena pengikutnya Nabi Nuh adalah orang-orang yang lebih rendah status sosialnya, yang mudah percaya, dan Nabi Nuh sendiri dianggap tidak memiliki kelebihan apapun (ayat 27). Nabi Syuaib ditolak oleh kaumnya karena beliau dianggap adalah orang yang lemah di antara mereka dan dianggap tidak punya wibawa (ayat 91).
Intinya adalah keutamaan. Siapapun yang memiliki keutamaan bisa mencegah sebuah kemungkaran dalam skala apapun. Jika tidak melakukannya, maka bencana hanya menunggu waktu. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli

Oktober 21, 2009

Mengapa Harus Dengki?

Bila kamu memperoleh kebaikan, maka hal itu menyedihkan mereka, dan kalau kamu ditimpa kesusahan maka mereka girang karenanya.” (QS. Ali Imran: 120)
Saya hanya tersenyum geli dan merasa senang melihat Taufik Kiemas memimpin sidang MPR kemarin. Pendapat bahwa sidang kemarin sangat lucu dan memalukan, saya setuju sekali. Baru kali ini dalam sejarah bangsa Indonesia, sidang yang dihadiri para pejabat, mantan pejabat serta tamu negara sahabat terlihat unik dan menggelitik. Betapa kualitas seseorang itu terlihat jelas ketika ia mendapat sebuah jabatan, apalagi kalau sebelumnya jabatan itu dia yang minta. Ketika akhirnya dia tidak bisa mengemban amanat tersebut, masyarakat langsung menilai apatis, bahkan menertawakan.
Sebelum masuk ke ruang sidang, seperti yang diberitakan detik.com, Taufik Kiemas tampak penuh percaya diri. Jabatan bergengsi yang ia sandang barangkali menjadi alasan mengapa ia harus percaya diri. Dan barulah ketika sidang dimulai, rasa percaya diri itu lama kelamaan agak pudar. Kesalahan dalam penyebutan beberapa nama menyebabkan intonasinya menurun dan kurang jelas mengucapkannya. Para anggota MPR tertawa. Inilah sidang pertama dalam sejarah republik ini yang tidak khidmat dan tidak sakral.
Saya lalu menemukan diskusi mengenai hal itu di forum detik.com. Saya tertawa sendiri membaca komentar-komentar para netter yang memojokkan Taufik Kiemas. Ada perasaan puas di hati saya bahwa terbukti jelas kalau ia tidak cocok menduduki jabatan tersebut, dan orang-orang yang telah memilihnya harus bertanggung-jawab secara moral kepada publik. Kata-kata sindiran hingga kasar yang ada di forum tersebut makin memantapkan hati saya untuk terus menertawakan nasibnya. Gembira, senang, puas, barangkali itulah perasaan saya saat itu.
Hingga akhirnya saya tersadar dan beristighfar. Astaghfirullah! Hati saya ternyata ada penyakit dengki! Masya Allah! Kenapa saya tidak sadar ?!Kenapa saya tertawa melihat orang lain ditertawakan? Kenapa saya merasa senang melihat orang lain dicaci maki? Kenapa saya malah ikut-ikutan mengomentari kesalahannya bersama teman2 kantor? Kenapa saya memperlakukannya seperti memperlakukan seseorang yang pantas dihina? Kenapa saya tidak mendoakan saja ia agar nanti tidak mengulang kesalahan yang sama, daripada ikut mencaci? Bukankah saya sendiri tidak luput dari kesalahan? Bukankah dalam konteks yang lebih sederhana saya pun juga pernah melakukan kealpaan seperti yang ia lakukan? Mengapa saya berpikir saya adalah manusia sempurna sehingga pantas untuk menilai kekurangan orang lain? Apakah di mata Allah saya lebih mulia daripada beliau? Betapa mengerikannya penyakit ini!
Segera saya beristighfar panjang. Percuma saja saya sholat tahajud, bersedekah, naik haji, puasa, tilawah kalau di hati saya ada penyakit dengki. Jelas Rasulullah saw sudah bersabda bahwa penyakit dengki itu membakar amal kebajikan seperti api yang membakar arang! Masya Allah!
Tidak sepantasnya kita menertawakan orang lain, sebab belum tentu kita lebih mulia dalam pandangan Allah SWT dibanding orang yang kita tertawakan itu. Semoga Allah membimbing saya dan kita semua selalu menyucikan hati dari penyakit dengki. Senang melihat orang lain susah, dan susah melihat orang lain senang. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli

Oktober 05, 2009

Maafkan saja!


Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan ana-kanakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS.64:14)


Seorang pemuda yang baru menjadi sarjana mendapat modal dari orang tuanya untuk memulai bisnis apapun yang ia sukai. Karena niat anak muda ini kalau lulus kuliah adalah berbisnis dan tidak mencari kerja, maka ia pun mulai berinvestasi pada orang lain dengan modalnya. Ia menanam uangnya pada usaha jual beli handphone bekas pada temannya dan usaha pembuatan roti yang dikelola oleh sepasang suami-istri di Bandung. Selain itu, dengan sisa uangnya ia pun berinvestasi pada usaha sembako yang dijalankan sebuah UKM. Dan apa yang terjadi selama beberapa bulan kemudian adalah mimpi buruk bagi pemuda yang malang ini. Semua orang yang ia percayai ternyata penipu! Uang investasinya di bisnis handphone bekas dilarikan sampai ke Jawa Tengah, sedangkan suami istri pengusaha roti itu pun kabur dari rumah kontrakannya. Sementara UKM penjual sembako mengalami crash dan kesulitan membayar hutang piutangnya. Total kerugian mencapai kurang lebih 10 juta rupiah (jumlah yang besar bagi pebisnis awam seperti dirinya). Ia benar-benar dendam kepada orang-orang yang sudah menipunya itu. Meski temannya yang menjalankan bisnis handphone itu mengembalikan sebagian modalnya (tentu setelah didesak dan diancam), tetap saja ia kehilangan 6 juta dari dua usaha lainnya. Tidur pun jadi tidak nyenyak. Keluarganya yang tadinya hidup berkecukupan, kini mulai serba kekurangan. Harapannya untuk tidak mencari kerja setelah lulus kuliah pun pudar. Akhirnya ia terpaksa mencari kerja untuk membantu menghidupi keluarganya. Kemarahan pada para penipu itu membuat pemuda ini lupa, bahwa rejeki itu Allah Yang Mengatur. Sekalipun seluruh makhluk berusaha menghalangi rezeki yang hendak Allah berikan pada hambaNya, karuniaNya tetap akan sampai. Inilah yang mungkin menyadari pemuda tersebut.

Lalu, sambil bekerja di perusahaan orang lain, ia berusaha memaafkan penipu-penipu ini dengan mendoakan kebaikan pada mereka. Ia berusaha ikhlas memaafkan kesalahan orang-orang tersebut sambil berharap agar Allah berkenan memberikan hidayah pada mereka. Dan apa yang terjadi? Kurang lebih 1 tahun setelah kejadian itu, keluarganya mendapat rezeki sebesar 107 juta rupiah dari hasil penjualan rumah warisan eyangnya! Padahal sebelumnya, rumah itu sulit sekali dijual karena dikuasai oleh pihak lain. Inilah salah satu bukti bahwa kalau kita mau memaafkan kesalahan orang lain, maka Allah pun akan membukakan pintu rezeki buat kita.

Selain bisa menjadi alat penggugur dosa, sifat pemaaf juga sangat baik terhadap kesehatan fisik. Berikut kutipan dari situs http://hidayatullah.com/rrharunyahya/ramadan_2.html yang menunjukkan
bagaimana sifat pemaaf berpengaruh terhadap jasmani manusia.

Menurut penelitian terakhir, para ilmuwan Amerika membuktikan bahwa mereka yang mampu memaafkan adalah lebih sehat baik jiwa maupun raga. Orang-orang yang diteliti menyatakan bahwa penderitaan mereka berkurang setelah memaafkan orang yang menyakiti mereka. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang yang belajar memaafkan merasa lebih baik, tidak hanya secara batiniyah namun juga jasmaniyah. Sebagai contoh, telah dibuktikan bahwa berdasarkan penelitian, gejala-gejala pada kejiwaan dan tubuh seperti sakit punggung akibat stress [tekanan jiwa], susah tidur dan sakit perut sangatlah berkurang pada orang-orang ini.


Adi W Gunawan, salah seorang ahli hipnotherapy di Indonesia bercerita dalam situsnya www.adiwgunawan.com bahwa ia mempunyai seorang teman yang seolah-olah segala keinginannya begitu mudah tercapai bahkan tanpa harus berdoa mati-matian. Di satu sisi ia pun melihat bahwa banyak orang yang sudah berdoa demikian rutin namun cita-citanya tidak mudah tercapai. Apa yang membuatnya berbeda dalam hal ini? Ternyata temannya ini sudah 10 tahun tidak pernah marah. Dia telah memaafkan orang lain dan berusaha terus memaafkan siapa pun yang telah menyakitinya. Inilah yang menjadi kunci sederhana bila ingin doa kita dikabulkan.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa memaafkan orang lain adalah sehat dan bikin kaya! Wallahu'alam.

Muhammad Zulkifli