Juni 14, 2009

Iman yang Menggerakkan

Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka; dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS. 3:57)
Saat Shubuh tiba, biasanya saya langsung bangun untuk segera bersiap-siap ke masjid di kompleks tempat saya tinggal. Tapi entah kenapa, pada hari Senin itu, meski sudah memasang alarm pukul 4.30 pagi, saya terbangun untuk sekedar mematikan bunyi alarm. Setelah itu saya melanjutkan aktivitas memeluk guling dan memejamkan mata, menunggu sekitar 15 menit yang ‘sangat bernilai’ untuk kembali tertidur. Adzan Shubuh yang berkumandang dari speaker masjid tak membuat kaki saya segera bangun dan melangkah ke masjid yang tidak jauh dari rumah. Saya memilih untuk sholat di rumah saja. Dan akhirnya saya baru sholat sekitar pukul 05.10 pagi. Astaghfirullah.
Iman adalah karunia Allah SWT yang mahal. Begitu banyak orang yang tidak memiliki iman di hatinya. Mereka lebih memilih jadi atheis atau aliran kepercayaan lain dalam menjalankan spiritualitasnya. Tapi kita tidak seperti itu. Kita sholat, puasa, zakat dan sebagainya karena kita tahu bahwa Sang Pemilik Kerajaan langit dan bumi inilah yang memerintahkannya. Hanya saja, dari sekian banyak orang yang beriman, hanya sedikit mereka yang memiliki kualitas iman yang bisa menggerakkan.
Saat saya terbangun karena alarm, iman saya mengatakan bahwa sholat Shubuh berjamaah di masjid sangat diutamakan. Iman saya juga mengingatkan bahwa ciri orang munafik adalah meninggalkan sholat Shubuh dan Isya jamaah di masjid. Ketika saya mendengar adzan, saya pun dengan penuh kesadaran hati menyadari bahwa ini adalah panggilan Allah, panggilan seorang ’Tuan’ terhadap hambaNya. Iman saya juga tahu kalau seandainya saya tahu apa yang akan saya peroleh dengan sholat berjamaah di masjid, pasti saya akan bela-belain datang ke masjid meski harus merangkak. Tapi iman saya hanya sebatas pengetahuan. Iman saya belum sampai pada tahap menggerakkan.
Tidak heran bila dalam banyak ayat Al-Qur’an, kata ’iman’ selalu diiringi ’amal saleh’. Iman tanpa amal saleh tidak akan diterima, sama seperti amal tanpa iman. Iman yang melahirkan amal saleh adalah iman yang menggerakkan. Iman yang tidak membuat pemiliknya beramal adalah iman yang sekarat.
Kita memang belum memiliki iman sekelas Mushab bin Umair, yang imannya menggerakkan ia untuk meninggalkan kemewahan hidup dan bergabung dengan barisan pasukan muslim. Iman kita belum sederajat dengan imannya Barra bin Malik yang menggerakkan ia untuk mau dilempar ke benteng musuh agar pasukan muslim bisa masuk ke dalamnya. Iman kita juga belum selevel dengan imannya Zubair bin Awwam yang tak bergeming meski disiksa pamannya karena masuk Islam. Dan iman kita juga masih kalah dengan imannya Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, Usamah bin Zaid, Zaid bin Arqam, Barra bin Azib, Amr bin Hizam, Usaid bin Zhuhair, Urabah bin Aus, Abu Sa'id al Khudri, Samurah bin Jundub dan Rafi' bin Khadij, yang saat masih anak-anak pun sudah tergerak untuk pergi berjihad dan menangis karena dilarang Rasulullah saw.
Iman kita masih taraf ”ecek-ecek”. Tapi bukan tidak mungkin nanti kualitas keimanan kita bisa setaraf dengan mereka. Untuk mencapai tahap itu, mulailah dari yang kecil-kecil dulu. Khusus buat saya, mungkin bisa dimulai dengan memaksakan diri bangun untuk berangkat ke masjid untuk berjamaah Shubuh, meski kantuk tak tertahankan. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli 

Juni 07, 2009

Berapa kali kita beristighfar?


Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. (QS. An-Nisa:111)
Istighfar berasal dari kata ghofara yang artinya tutup. Bila ditambah alif dan sin, maka maknanya jadi: minta ditutupi. Apa yang harus ditutupi? Dampak dari dosa-dosa yang kita perbuat. Setiap dosa pasti punya akibat, dan untuk menghindari akibat buruknya kita dianjurkan untuk beristighfar. Memohon ampun kepada Allah SWT agar dosa-dosa tersebut tidak berefek negatif dalam kehidupan kita.
Selain menghindari akibat buruk dosa, istighfar juga berdampak positif seperti memperbanyak harta, memperbanyak anak, menurunkan rezeki atau hujan dari langit dan sebagainya. Kisah-kisah Nabi Nuh, Hud, Syu’aib dan lainnya mengajarkan pada kita bahwa memohon ampun kepada Allah adalah bentuk lain dari “ikhitar langit”, yaitu bagaimana menjemput rezeki dan mempermudah terkabulnya hajat setelah “ikhitar dunia” telah dimaksimalkan.
Berapa kali kita harus beristighfar dalam satu hari? Rasulullah saw dalam salah satu hadistnya mengatakan bahwa beliau beristighfar 70 kali per hari. Di hadist lain ada yang menyebutkan 100 kali per hari. Kita anggap saja angka yang paling maksimal, yaitu Rasulullah memohon ampun pada Allah sehari 100 kali.
Bagaimana dengan kita? Nabi Muhammad adalah manusia suci dan yang disucikan oleh Allah. Meski demikian, beliau tetap memohon ampun kepada Allah. Dengan perhitungan seperti ini, kita mencoba melihat diri kita sendiri. Kira-kira, berapa persenkah kualitas iman, kualitas akhlak dan kualitas ibadah kita dari Rasulullah saw? Jika kita ambil angka 50% atau setengah dari kualitas Rasulullah, maka seharusnya kita beristighfar 200 kali perhari. Tapi apa iya kualitas iman, akhlak dan ibadah kita hanya beda setengah dari Rasulullah? Rasanya terlalu sombong. Sholat kita saja jarang khusyu’, sama orang lain masih sering kasar, dan terkadang kita juga suka males berdoa kepada Allah kalau tidak dikabul-kabulkan.
Baiklah, mari kita ambil asumsi bahwa kualitas kita adalah seperempat dari kualitas Rasulullah. Artinya, dalam sehari kita harus beristighfar 400 kali! Sanggup?
Sekali lagi, benarkah kualitas kita hanya berbeda seperempat dari kualitas Rasulullah? Coba ingat-ingat lagi dosa kita. Rasulullah dalam sehari-hari berbicara benar atau diam. Sedangkan kita terlalu banyak bicara dan jarang benarnya. Selain itu, beliau suka bersedekah dan sedekahnya tidak tanggung-tanggung. Sedangkan kita, selalu nanggung dalam bersedekah. Nabi Muhammad kalau marah juga hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan pelecehan akidah. Kalau kita marah selalu berkaitan dengan hal-hal pelecehan pribadi. Kalau sudah begitu, masihkah kita beranggapan bahwa kualitas kita hanya seperempat kualitas Rasulullah?
Jangan-jangan kualitas ibadah, keimanan dan akhlak kita hanya seperdelapannya Rasulullah. Kalau begitu, kita harus beristighfar 800 kali perhari! Atau jangan-jangan hanya sepereenambelas, sepertigapuluh dua, atau seperenampuluhempat! Masya Allah, kita harus beristighfar 6400 kali perhari! Apakah kita sanggup?
Saat ini, saya berusaha konsisten/istiqomah untuk beristighfar 500-1000 kali perhari. Itu juga masih bolong-bolong. Bagaimana dengan Anda?

Muhammad Zulkifli

Untung Kita Dapat Hidayah...


…..tetapi Allah –lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (QS.Al-Baqarah: 272)
Seorang teman yang hobi minum bir menceritakan kisah ini pada saya. Suatu hari, tepatnya pada malam tahun baru, seperti biasa dia merayakannya dengan pesta minuman keras bersama rekan-rekannya sesama kru sebuah stasiun televisi swasta. Teman saya ini memang peminum berat, meski jarang mabuk. Ketika ada acara kantor, dimana stasiun TV tempatnya bekerja diundang untuk meliput, ia selalu berusaha mencari kafe yang menjual minuman keras. Dan itu menjadi kebiasannya sejak dulu.
Ketika ia akan menikmati malam tahun baru 2008, baru saja ia membuka tutup botol vodka miliknya, tiba-tiba ada SMS masuk dari istrinya. Isinya: Ayah, cepat pulang, anak kita sakit. Teman saya ini pun tidak jadi menikmati vodkanya. Segera ia ke rumah sakit untuk melihat kondisi anaknya. Setiba disana, tiba-tiba muncul penyesalan dari hatinya. Kenapa ia bersenang-senang di saat anaknya menderita? Hatinya terenyuh. Sejak saat itu ia berjanji untuk tidak minum minuman keras lagi. Dan ibadahnya kini semakin rutin dan rajin.
Sesederhana itukah seseorang berubah? Iya, mungkin saja! Dan sejak peristiwa itu, tak sekalipun teman saya ini meninggalkan sholat wajib. Padahal dalam 2 tahun terakhir sejak saya bekerjasama dengannya, tidak pernah sekalipun saya melihatnya sholat. Sekarang malah dia yang mengajak teman-temannya untuk sholat. Subhanallah..
Hidayah memang rahasia Allah SWT. Begitu banyak orang yang berteman, bahkan bersahabat dengan orang sholeh, tapi dia tidak ikutan sholeh. Sebaliknya, ada yang berteman dengan pemabuk, malah dapat hidayah. Bersekolah di perguruan tinggi Amerika, gudangnya hedonis, malah keislamannya makin mantap. Bahkan ada juga yang sudah muslim sejak lahir tapi sering mempraktekan perbuatan syirik.
Di Pelabuhan Ratu misalnya, ada upacara tahunan yang bernama Pesta Nelayan. Upacara ini berupa pelepasan sesajen kepala kerbau dan nasi tumpeng yang dipersembahkan kepada Nyi Riri Kidul. Uniknya, pelepasan sesajen ini dilakukan oleh seorang wanita yang didandani dengan kebaya warna hijau, karena Nyi Roro Kidul suka warna itu. Untuk mendapatkan yang cantik biasanya panitia pesta menggelar kontes kecantikan setingkat SMU.
Di Surakarta, Solo, warga rela datang jauh-jauh dan berebut air kencing dan kotoran “Si Bule”. Siapa itu “Si Bule”? Yaitu kerbau bule keturunan kerbau Kyai Slamet yang dianggap punya “keberkahan”. Selain itu, di Wonogiri ada acara jamasan, atau pencucian benda-benda pusaka milik Kasunanan di waduk Gajah Mungkur. Anehnya, air sisa cucian itu diperebutkan banyak orang karena dipercaya mengandung banyak khasiat.
Budaya-budaya di atas dilakukan mayoritas oleh umat Islam yang keimanannya dipertanyakan. Tapi memang hidayah adalah urusan Allah. Karena itulah dalam surah Al-Baqarah di atas Allah SWT sudah mengatakan bahwa hidayah adalah hak preogatifNya. Banyak memang yang rajin ke masjid, tapi yang mabuk juga banyak. Banyak memang laki-laki yang setia pada istrinya, tapi laki-laki yang berselingkuh dan berzina pun tidak sedikit. Banyak memang yang tidak suka mengambil harta orang lain, tapi yang korupsi pun juga banyak.Dunia ini penuh dengan orang-orang yang baik, sebagaimana dunia ini juga penuh dengan orang-orang yang tidak baik.
Karena itulah judul tulisan ini mengajak kita untuk bersyukur. Ya, kita adalah salah satu yang mendapat hidayah Allah untuk selalu menghindari dosa dan perbuatan buruk, serta selalu termotivasi untuk berbuat kebaikan. Sholat kita tidak bermasalah, secara akidah kita tidak terjerumus dalam syirik, tauhid kita murni, maka patutlah kita mengatakan: Untung saya dapat hidayah. Karena itu berarti Allah SWT menganggap kita memang pantas mendapat hidayahNya. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli 

Juni 04, 2009

Demokrasi, bagian dari muammalah?

Dalam sebuah acara Tasqif Dirosah Islamiyah yang dibawakan oleh Ustad Muhammad Arifin di masjid Peruri Karawang, saya mendapat sebuah pemahaman baru mengenai hal-hal yang kontemporer. Menurut beliau, ibadah itu terbagi 2, yaitu ibadah maghdoh dan ghoiru maghdoh. Ibadah maghdoh adalah semua ibadah yang hukumnya haram sampai ada ayat yang memerintahkannya. Contohnya sholat, puasa, haji dan sebagainya. Jika tidak ada dalil yang memerintahkan kita untuk mengerjakannya, maka status ibadah yang kita lakukan itu adalah haram. Sebaliknya, ibadah ghoiru-maghdoh atau muamalah adalah semua kegiatan yang diperbolehkan sampai ada dalil yang melarangnya.
Seseorang bertanya kepada Pak Ustad, partai dan demokrasi adalah sesuatu yang tidak ada di zaman Rasulullah, oleh karena itu dikategorikan bid’ah. Bahkan haram! Lalu mengapa Pak Ustad terlibat dalam salah satu partai politik Islam?
Pak Ustad balik menjelaskan, bahwa jangankan partai, bahkan pesantren, bank syariah, organisasi seperti NU dan Muhammadiyah pun tidak ada di zaman Nabi. Kalau begitu, semuanya haram dong?
Tidak ada satu pun dalil, menurut Pak Ustad, yang melarang pembentukan partai. Dan tidak ada satu pun ayat dan hadist yang menjelaskan bahwa demokrasi itu haram. Jadi partai dan demokrasi hukumnya mubah. Tapi bukankah demokrasi, menurut si penanya tadi, adalah sistem jahiliyah?
Dalam sepenggal siroh Rasulullah saw, ketika beliau dan Zaid bin Haritsah diusir dari Thoif, beliau punya rencana untuk balik lagi ke Makkah dan kembali berdakwah. Namun hal tersebut mustahil karena penduduk Makkah sudah sepakat mengusir mereka. Lalu Rasulullah pun teringat bahwa di Makkah ada undang-undang atau kesepakatan bersama antara kabilah-kabilah, bahwa bila ada yang minta perlindungan pada salah satu kabilah, maka kabilah lain wajib juga melindunginya. Lalu beliau meminta Zaid bin Haritsah untuk datang ke Makkah malam-malam dan mulai melobi pemimpin kabilah untuk minta perlindungan. Dan akhirnya Mut’am bin Ali, salah satu pemimpin dari kabilah di Makkah setuju untuk melindungi Muhammad dan Zaid. Akhirnya Rasulullah kembali ke Makkah dan berdakwah serta dilindungi oleh kabilahnya Mut’am bin Ali.
Dari kisah di atas, ternyata Rasulullah saw memanfaatkan hukum/peraturan jahiliyah untuk kepentingan dakwah. Demokrasi adalah bagian dari muamalah. Bila demokrasi itu jahiliyah, mengapa tidak kita manfaatkan saja untuk kepentingam dakwah? Ketimbang membiarkan orang-orang yang tidak punya komitmen dakwah yang memimpin negeri ini, lebih baik negara ini dikendalikan oleh tangan-tangan yang sering basah oleh air wudhu.
Inilah sepotong ilmu yang saya dapatkan dari pengajian Ahad lalu. Sangat menarik buat saya yang memang buta politik. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli