September 17, 2007

Energi Positif versus Energi Negatif


Konsep tentang energi positif dan energi negatif pertama kali (setahu saya) diperkenalkan oleh Kubik Leadership. Lembaga pelatihan dan motivasi yang didirikan oleh Pak Jamil ini menawarkan solusi bahwa bila kita ingin mendapatkan hal-hal positif, maka berbuatlah kebaikan pada orang lain. Demikian juga sebaliknya. Bila mendapat musibah dalam hidup ini, bisa jadi karena energi negatif kita demikian banyak dan belum sempat kita ’netralisir’ dengan energi positif.

Masyarakat kita mengenal dengan istilah ’karma’. Bedanya, karma tidak hanya menimpa subyek pelaku, namun juga keluarga dan keturunannya. Saya pribadi tidak terlalu percaya terhadap hukum karma, namun saya lebih percaya pada hukum energi itu tadi. Sebab ketika seseorang dan keluarganya ditimpa musibah, hal itu bukan karena anak istrinya ’ketiban sial’, namun bisa jadi karena anak istrinya memiliki dosa lain dan balasannya pun menjadi satu paket dengan pelaku dosa itu sendiri.

Seorang karyawati kerap memanfaatkan teman-teman pria yang ingin mendekatinya. Caranya bermacam-macam, mulai dari minta dijemput ke rumah, minta ditraktir makan, minta dibeliin pulsa, dan bahkan minta duit! Karyawati ini tidak memiliki komitmen apapun terhadap para pria yang sudah ’dibutakan’ oleh cinta buta ini. Dia hanya memanfaatkan kesempatan dengan memberi harapan-harapan palsu, seolah dia juga menyukai mereka. Dan hukum kekekalan energi berlaku. Di tempat kosnya, karyawati ini sering sekali kehilangan barang. Belum lagi uang yang ditemukan di sakunya sering ditilep pembantu ibu kos. Apakah nilainya sama dengan uang-uang yang sudah dia ’rampas’ secara halus dari teman-teman prianya? Wallahu’alam.

Ada pula kisah tentang seorang perantauan yang bekerja di Jakarta. Ketika ada teman-temannya yang butuh uang, dia suka meminjamkan tanpa pernah menagih. Bahkan entah berapa kali teman-temannya suka tidak menepati janji untuk melunasi, namun ia tetap memberi kemudahan pada mereka. Tidak ia ceritakan ke orang lain kalau si A ini punya hutang sekian ribu pada dirinya, atau si B ketika minjem duit suka maksa-maksa. Baginya yang penting uangnya bisa bermanfaat bagi teman-temannya. Suatu hari, keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Kali ini justru dia yang harus meminjam uang pada teman-temannya. Dan betapa mudahnya dia meminjam, dan betapa teman-temannya begitu korporatif dan tidak pernah menagih-nagih uang yang ia pinjam. Kalau pun menagih, tetap dalam prinsip memudahkan dan tidak ada paksaan, sebagaimana dulu ia perlakukan pada orang-orang yang berhutang padanya.
Inilah keseimbangan alam. Apa yang kita tanam, itu yang kita tuai. Investasi pada kebaikan akan menghasilkan kebaikan. Demikian sebaliknya. Seperti firman Allah SWT...barangsiapa yang kikir, sesungguhnya dia kikir terhadap dirinya sendiri. Seolah ayat ini ingin mengajarkan kita bahwa, kalau kita pelit sama orang, orang lain pun akan pelit pada kita. Kalau kita pernah mencaci maki orang lain, tungguhlah saatnya sampai ada orang yang akan mencaci maki kita. Perbuatan buruk kita hakikatnya adalah kesempatan yang kita berikan pada orang lain untuk memperlakukan hal yang sama pada diri kita. Wallahu’alam.


Muhammad Zulkifli

Kekurangan = Kemuliaan

Tidak semua orang dilahirkan dalam keadaan sempurna secara fisik. Terkadang ada yang harus ’puas’ dengan kondisi tubuh tanpa tangan, tanpa kaki dan bahkan (maaf) tanpa anus. Atau tubuhnya lengkap, tapi matanya tidak bisa melihat, telinganya tidak bisa mendengar. Tidak jarang pula yang fisiknya lengkap, inderanya sempurna, namun mentalnya terbelakang. Mereka semua itu ada di sekitar kita, dan bisa jadi pula kita mengenalnya.

Saya pernah mendengar, ada seorang ibu yang memilik anak yang sangat lucu secara fisik, namun menderita autis. Ibu ini terkadang merasa Allah tidak adil pada dirinya, padahal dia selama ini tidak pernah berbuat sesuatu yang tidak diridhoi Allah.

Kekurangan fisik memang bisa dijadikan alasan paling logis untuk menjadi seseorang berpikir rendah diri, merasa hina dan tidak berguna. Rata-rata pengemis di kota Makkah dan Madinah memiliki fisik yang tidak sempurna, mulai dari pergelangan tangan yang buntung, kaki yang hanya sampai lutut, sampai kaki dan tangan pun ia tidak punya. Di Indonesia pun orang kerap memanfaatkan kekurangan fisiknya untuk menjaring belas kasihan dari mereka yang melihatnya. Salahkah mereka untuk memilih jalan sebagai pengemis? Benarkah Allah tidak adil sama mereka? Atau benarkah Allah ridho dengan profesi mereka sebagai tukang minta-minta, karena nanti di akherat mereka bisa membela diri: soalnya Engkau menciptakanku dalam keadaan tidak sempurna, maka terpaksalah aku jadi pengemis.

Saya tidak berhak menilai demikian. Teman saya Abdul Fatah adalah seorang tuna netra. Tapi kekurangannya dalam hal penglihatan tidak menghalangi dia untuk menjadi hadifz Qur’an. Malah ia sering diundang menjadi penceramah dan mengisi talkshow bertema Islam di radio-radio Bandung. Selain itu ada pula Ato. Dalam setiap pengajian rutin yang diadakan Daarut Tauhiid, Ato selalu berada di barisan paling depan. Sebenarnya adalah hal biasa bagi seorang jamaah yang rajin datang lebih awal di tiap pengajian. Namun yang luar biasa adalah, Ato tidak memiliki kaki. Dan ’parah’nya lagi, cara berkomunikasinya pun tidak sempurna. Hinakah Ato di hadapan jamaah lainnya? Boro-boro terhina, justru orang lain malah menghormatinya dan berintropeksi diri, kenapa mereka yang fisiknya sempurna malah tidak bisa datang lebih awal seperti Ato. Atau bagi yang suka nonton musik di kafe-kafe dan pusat perbelanjaan, mungkin tidak asing dengan grup Jamaica Cafe. Yap! Salah satu personilnya, Anton, adalah anggota grup yang secara fisik berbeda dengan teman-temannya. Beliau hanya memiliki satu kaki, dan tangannya pun tidak sempurna. Belum lagi ditambah dengan ukuran tubuhnya yang tidak sesuai untuk ukuran orang dewasa. Malukah Anton? Jangankan celaan, justru Anton menuai banyak applaus dalam setiap aksi panggungnya. Selain pintar melucu, suaranya pun benar-benar merdu dan enak didengar.

Terkadang cara Allah memuliakan hambaNya tidak selalu dengan kekayaan dan keluasan ilmu. Dengan kekurangan fisik, kesempitan ekonomi, atau hal-hal ’tidak enak’ lainnya, justru Allah ingin menaikkan derajat kehormatan hambaNya tersebut.

Muhammad Zulkifli

Ketika kita diundang Tuhan

Pernahkah kita mendapat undangan pernikahan, khitanan, akikah dari teman atau kerabat kita? Apa yang mereka harapkan ketika mengundang kita? Tentu kehadiran kita. Di tempat mereka kita akan dilayani bak raja. Mulai dari kedatangan kita yang disambut hangat (bahkan kalau di resepsi pernikahan sudah berderet penerima tamu berpakaian rapi yang akan menyalami kita dan mengucapkan selamat datang), lalu tempat duduk yang nyaman, sampai makanan dan minuman yang disajikan buat kita. Padahal kalau dipikir secara logis, apa keuntungan materi yang mereka peroleh dengan mengundang kita? Kalaupun kita memberi amplop berisi uang, toh tidak sebanding dengan pengeluaran mereka dari mulai sewa tempat, sewa kursi, tenda dan kateringnya. Tapi ada kepuasan di hati mereka ketika kita datang, yaitu bahwa kita masih menganggap mereka bagian dari hidup kita sehingga kita tidak mau melewatkan momen kebahagiaan mereka.

Demikian juga Allah SWT. Dia Yang Maha Kaya jelas tidak membutuhkan kita. Tapi Allah SWT sangat gembira ketika melihat hambaNya bertaubat. Dalam salah satu hadistnya Rasulullah saw bersabda bahwa kegembiraan Allah melihat hambaNya yang bertaubat lebih besar dibanding seorang yang kehilangan untanya dalam perjalanan dan kemudian unta tersebut datang kembali kepadanya. Padahal apa untungnya bagi Allah kalau kita bertaubat? Sekalipun seluruh makhluk mengingkariNya, tidak berkurang setitik pun kemuliaan Allah. Tapi Allah ingin menunjukkan kemurahanNya pada kita. Dia sediakan rezeki yang luas, jalan keluar bagi permasalahan kita, ampunan atas dosa-dosa kita, bila kita mau memenuhi undangannya.

Tapi jangan berharap undangan Allah itu berupa kertas bertinta emas yang diantar ekselusif oleh ustad-ustad di sekitar rumah kita. Undangan Allah itu justru berbentuk sesuatu yang ’tidak enak’. Allah mengundang kita lewat musibah, bencana alam, kesempitan rezeki, kedholiman orang lain atas diri kita, penghinaan, cemoohan, kehilangan harta benda, ditinggal orang-orang yang kita cintai, hutang yang menumpuk, gugatan cerai dari istri, perlakuan kasar dari suami, anak-anak yang susah diatur, dipecat dari pekerjaan, difitnah teman kerja, dipersulit urusannya oleh orang lain, dan bentuk-bentuk lainnya. Bila kita saat ini sedang menghadapi sebagian dari permasalah tersebut, percayalah, itu berarti Allah sedang mengundang kita untuk menghadiri jamuannya. Nikmati jamuannya berupa solusi atas permasalahan kita.

Biasanya semakin dekat kita pada seseorang, maka ketika orang tersebut punya hajat dia tidak memberikan kita undangan. Sebab kita sudah dianggap orang terdekat. Seorang hamba yang sholeh, yang selalu mengisi hari-harinya dengan beribadah kepada Allah, biasanya hidupnya tidak atau jarang ’dicekcoki’ dengan musibah. Mengapa? Apakah Allah tidak mengundangnya? Sebab antara Allah dan hamba tersebut sudah terjalin keakraban sejak lama. Tanpa musibah pun hambanya tersebut senantiasa bertaubat. Jadi tidak perlu ’undangan khusus’ kepada hamba-hambaNya yang memang sudah abid. Undangan disebar buat kita yang memang belum akrab dengan Allah. Undangan diantar kepada kita yang jarang menyapa Allah. Undangan diberikan Allah bagi hamba-hambaNya yang melampaui batas. Bila kita tidak mau diberi undangan khusus oleh Allah, maka kita harus belajar untuk selalu dekat kepadaNya. Wallahu’alam.

Muhammad Zulkifli